Masalah batalnya wudhu karena sebab bersentuhan kulit dengan
lawan jenis, memang menjadi masalah khilafiyah dalam fiqh. Ada ulama
yang menganggap bahwa sekedar bersentuhan tidak membatalkan secara
mutlak. Ada juga yang menambahkan, batal wudhunya jika dilakukan dengan
syahwat (dorongan seksual). Juga ada yang berpendapat wudhu tidak batal
jika ada hail (penghalang).
Dari perbedaan ini, ada baiknya kita menyimak argumen para ulama pada pendapat yang mereka bela.
1. Membatalkan Wudhu
Al-Imam As-Syafii berpendapat bahwa sentuhan kulit laki-laki dan
perempuan membatalkan wudhu, baik suami-istri ataupun
laki-laki-perempuan yang bukan mahram, dengan syahwat maupun tidak.
Beliau, Al-Imam Syafii, menafsirkan kalimat (لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ /
menyentuh wanita) dalam QS. Al-Maida: 6 dengan tafsiran menyentuh wanita
walaupun tanpa jima’ (hubungan seksual). Di antara argumen yang beliau
angkat adalah: dalam bahasa Arab, kata لامس bermakna لمس yang berarti
menyentuh atau bertemunya dua kulit laki-laki dan perempuan walaupum
tanpa jima’.
Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Umar yang berbunyi:
قبلة الرجل امرأته وجسها بيده من الملامسة، فمن قبل امرأته، أو جسها بيده، فعليه الوضوء
“ciuman seorang laki-laki kepada istrinya, atau sentuhannya dengan
tangannya masuk dalam katagori ‘mulamasah’. Dan siapa saja yang mencium
istrinya atau menyentuhnya dengan tangannya maka dia wajib wudhu” (HR.
Malik dalam kitab Al-Wuwatho’ dengan sanad yang shohih)
Dalam kitab ‘Hasyiah Al-Bujairimi’ disebutkan lima syarat sentuhan yang
membatalkan wudhu; lawan jenis (laki-laki dan wanita), bertemunya dua
kulit (bukan kuku dan rambut), tanpa adanya penghalang antara dua kulit,
timbulnya syahwat, dan keduanya bukan mahram.
2. Tidak batal Secara Mutlak
Madzhab Hanafiyah mengatakan, tidak bersentuhan laki-laki dan perempuan
tidak membatalkan wudhu secara mutlak, baik dengan penghalang ataupun
tidak, dengan syahwat maupum tidak, serta dengan mahram maupun tidak.
Hal ini disebutkan juga oleh As-Syarkhosi dalam kitabnya Al-Mabsut,
wudhu tidak batal karena mencium istri, baik dengan syahwat maupun
tidak.
pendapat kedua ini dikuatkan dengan argumen, diantaranya hadits dari Istri nabi SAW, Aisyah ra:
كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي
Aisyah berkata, “aku tidur di hadapan Rasulullah saw. dan kedua kakiku
menjulur ke arah kiblat, maka apabila beliaun sujud beliau menggoyangkan
kakiku” (HR.Muttafaq alaih)
3. Pendapat Pertengahan
Sedangkan dari madzhab Hanafiyah dan malikiyah, mereka berpendapat makna
bersentuhan dalam QS. Almaida: 6 adalah bersentuhan dua kulit yang
disertai dengan syahwat. Sedangkan sentuhan yang tanpa syahwat
sebagaimana dalam hadits Aisyah di atas tidak membatalkan wudhu.
Pendapat ketiga ini bisa dirujuk pada kitab Al-Mugni (Ibn Qudamah)
Dari tiga pendapat ini, penulis lebih cenderung untuk memilih pendapat yang ketiga, sebagai pendapat pertengahan.
Wallahu a’lam
Oleh: Ahmad Hilmi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar