Pages

Sabtu, 14 Juni 2014

Wanita Haid Membaca Al-Quran, Bolehkah?

Haid dan nifas merupakan dua keadaan yang masuk dalam katagori hadats besar, seperti halnya junub karena jima’ (red: hubungan suami istri) dan juga mimpi basah. Keadaan seperti ini menyebabkan seseorang terhalang untuk melakukan beberapa ibadah, seperti sholat, puasa, membaca al-Quran, dsb.

Akan tetapi, hadast yang disebabkan haid dan nifas sangat berbeda dengan jima’ dan mimpi basah dalam hal proses. Wanita haid dan nifas tidak bisa memperkirakan dengan tepat kapan ia bisa  memulai dan berhenti dari haidnya atau nifasnya. Berbeda dengan jima’, yang mulainya bisa diperkirakan dan bisa bersuci kapan pun dia mau.

Dari perbedaan inilah,maka sebagian ulama tidak mengkiyaskan secara muthlak antara hadats karena haid dan nifas dengan hadats karena jima’ dalam hal larangan ibadah. Dalam beberapa keadaan, wanita haid dan nifas masih dibolehkan membaca al-Quran. Berikut ini penjelasan dari ulama madzhab.


1. Wanita haid dan nifas haram membaca al-Quran
Jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, berpendapat haram wanita haid dan nifas membaca al-Quran. Pendapat ini diperkuat dengan hadist,

قَالَ: لاَ تَقْرَأِ الحَائِضُ، وَلاَ الجُنُبُ شَيْئًا مِنَ القُرْآنِ
Artinya: “janganlah seorang yang sedang  haid dan junub membaca sesuatu (ayat) dari al-Quran" (HR. At-Tirmidzi)[1]

Mengenai kadar bacaan, mereka berpeda pendapat. Hanafiyah mengatakan, jika diniatkan qiraah, maka kurang satu ayat pun tetap tidak boleh. Namun jika diniatkan untuk berdoa atau dzikir, maka hal itu dibolehkan.

Sedangkan menurut Syafi’iyah, yang dimaksud qiraah adalah jika memandang al-Quran dan melafadzkannya dengan sura yang terdengar. Maka hanya menyapukan pandangan di halaman al-Quran dan membisikkannya dalam hati tanpa menggerakkan lisan bukanlah disebut qiraah, dan ini boleh dilakukan.

Dan Hanabilah mengatakan, boleh membaca asalkan tidak melebihi satu ayat yang pendek.
Ayat yang dianggap doa dan boleh dibaca saat haid diantaranya:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُون

2. Wanita haid dan nifas boleh membaca al-Quran
Malikiyah membolehkan wanita haid dan nifas untuk membaca al-Quran  dalam kondisi darah belum berhenti. Namun, jika darahnya sudah berhenti, maka dia dilarang membaca al-Quran sampai dia mandi janabah.


Hanya sekedar menyentuh
Ulama sepakat bahwa dilarang menyentuh al-Quran secara utuh. Halini didasari oleh firman Allah:
لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُون
Artinya: “tidak boleh menyentuhnya (al-Quran) kecuali orang-orang yang suci”
Begitupun dengan hadits dari Rasulallah SAW yang senada dengan ayat di atas:
لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِر
Artinya: “tidak menyentuh al-Quran kecuali orang yang suci” (HR. Ad-Dar Quthni)
Haid dan nifas merupakan keadaan yang tidak suci, maka dilarang menyentuh al-Quran.  

Menyentuh dan membaca al-Quran bagi guru dan pelajar wanita

Secara umum, menyentuh al-quran dan membacanya bagi wanita haid dan nifas dilarang. Namun ada satu kondisi yang membolehkan, diantaranya ialah, guru dan pelajar al-Quran wanita. Baik menyentuh sebagian maupun secara utuh. Pendapat ini dipilih oleh kalangan Malikiyah.[2]

Dalil yang menguatkan pendapat ini diantaranya; bahwa hadastnya wanita haid dan nifas di luar kendalinya. Artinya, memulai haid dan meng-akhirinya hingga suci kembali diluar kemampuan wanita dan tidak bisa dilakukan semaunya. Berbeda dengan janabah sebab jima’ yang terjadinya bisa disengaja dan bersucinya bisa dijadwalkan.

Dalil selanjutnya, hadits tentang larangan mebaca al-Quran diatas yang berbunyi:

لاَ تَقْرَأِ الحَائِضُ، وَلاَ الجُنُبُ شَيْئًا مِنَ القُرْآنِ

Artinya: “janganlah seorang yang sedang  haid dan junub membaca sesuatu (ayat) dari al-Quran" (HR. At-Tirmidzi)
Itu merupakan hadits dho’if (lemah) menurut sebagian ahli hadis.[3]

Bagi hafidzah (wanita penghafal al-Quran) maka menyentuh al-Quran dan membacanya sangat dibutuhkan untuk mengingat hafalan. Terlebih lagi jika wanita itu mengalami waktu haid yang panjang. Maka dari keadaan inilah pendapat ini dipilih oleh kalngan Malikiyah.

Wallahu a’lam bi as-ashawab

Oleh: AhmadHilmi






[1] Sunan at-Tirmidzi, 1/194
[2] Al-Mausuah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah
[3] Lihat keterangan derajat haditsnya di kitab “al-Jami al-Kabir / sunan at-Tirmidzi, 1/194

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About