Pages

Minggu, 20 April 2014

Sudahlah, Gak Usah Terlalu Idealis

Kata ‘ideal’ atau ‘idealis’ seringkali digunakan untuk menyifati sebuah perilaku yang sesuai aturan. Sebagai seorang muslim, seharusnya kita berlaku jujur dan tidak curang. Idealnya seperti itu. Jadi, jika kita tidak berlaku jujur dan berbuat curang maka kita sudah bisa disebut tidak ideal.

Tapi, adakalanya manusia membuat standart idealnya menurut versinya sendiri. Tentu, standart ideal yang ia buat akan sangat berbeda dengan standart ideal versi syariah.


Manusia yang membuat standart ideal menurut versinya sendiri itu pasti berhubungan dengan sebuah kepentingan duniawi. Karena, jika tujuan dari tindakannya adalah akhirat, tentu standart ideal versi syariah sudah lebih dari cukup untuk pedoman.

Banyak sekali kasus pergeseran idealis dari versi syariah menuju versi sendiri. Fenomena semacam ini menyerang semua kelompok usia manusia dengan beragam kepentingannya.

Contoh kasus ke-1:
Idealnya, seorang pelajar peserta UN harus mengerjakan soal ujian dengan penuh kejujuran. Tidak boleh ada kecurangan yang terjadi dengan cara apapun. Ketika suasana lingkungan mendukung untuk jujur, maka siswa pun akan berusaha untuk jujur. Tapi sayangnya, lingkungan tidak mendukung, karena banyak peserta lain yang tidak jujur dan tidak mendapatkan teguran. Maka siswa yang jujur ini akan tergiur dan lambatlaun idealusmenya akan terkikis.

Jika kondisi ini dibiarkan, maka siswa yang jujur ini akan berujar dalam dirinya, “ngapain saya harus jujur, toh teman-teman yang lain pun bareng-bareng lihat contekan. Lagi pula, tujuan kita sama, LULUS. Kalau ada yang instan, ngapain saya pakai cara yang susah. Kalau nyontek saja bisa, buat apa saya jujur.”

Apa yang kita lihat di akhir cerita adalah sebuah keniscayaan. Hilangnya idealisme karna faktor kebutuhan yang didukung oleh keadaan.

Contoh kasus ke-2:
Seorang caleg, idealnya dia harus jujur, tidak boleh ada permainan uang untuk membeli suara. Jika suasana kampanye mendukung untuk jujur, maka dia akan jujur. Tapi sayangnya, lingkungan politik tidak sesuai dengan idealismenya, banyak caleg yang bagi-bagi duit dan tidak ada teguran.

Jika kondisi ini dibiarkan berlanjut, maka caleg yang mau jujur ini akan berbisik dengan batinnya, “buat apa kamu saya idealis dengan kejujura saya. Toh, banyak caleg yang bagi-bagi duit dan tidak ada tindakan dari pengawas. Tujuan kita kan sama, menang pemilu. Kalau ada cara yang mudah, untuk apa saya tempuh jalur yang susah.”

Akhir kisah, luntur juga idealismenya.

Dari dua kasus di atas, pergeseran idealisme terjadi karena kepentingan dunia semata. Jika memang tujuannya adalah akhirat dan agama, caleg tadi seharusnya mengusir iblis dengan berujar, “niat saya sebagai caleg untuk dakwah dan Islam. Apapun yang terjadi, saya akan mempertahankan idealisme saya yang sesuai cara Islam.”

Seharusnya seperti itu, niat yang baik harus diwujudkan dengan cara yang baik juga.
Mari, kita jaga idealisme yang sesuai syariat. Jangan biarkan ia terkikis oleh kepentingan yang akhirnya kita membuat standart ideal menurut versi kita sendiri.

Jangan sampai kita gunakan kaidah usul fikih, “maa laa yatimmu al-wajib illa bihi fahua al-wajib” untuk menghalalkan yang haram. Duduk di parlemen bukan kewajiban. Maka aksi suap yang haram tidak lantas menjadi halal lantaran kepentingan itu.

Wallahu a’lam

Oleh: Ahmad Hilmi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About