Selain dituntut untuk lulus UN, para siswa
juga dituntut untuk mendapatkan kelulusan itu dengan penuh kejujuran.
Dan tidak sedikit dari siswa yang kemudian menganut doktrin jujur itu.
Apapun hasilnya, jika diperoleh dengan usaha yang jujur, maka itulah
hasil akhir yang terbaik.
Tapi sayangnya, ketika doktrin itu telah
menancap kuat di hati para siswa, justu pihak sekolah merasa was-was
dan khawatir. Kehawatiran sekolah yang semacam ini sangat beralasan.
Pasalnya, tingkat kelulusan menjadi salah satu penentu nasib sekolah ke
depannya.
Menjelang detik-detik UN, banyak persiapan yang dilakukan pihak
sekolah. Di antara persiapan tersebut adalah Tes Pendalaman Materi
(TPM), try out, dsb. Ternyata, dari hasil tes ujicoba ini, ada sebagian
murid yang nilainya di bawah standart yang ditentukan. Walaupun itu
hanya hasil ujicoba, tapi ini bisa meramalkan hasil UN yang akan
dilakukan.
Berangkat dari hasil uji coba itulah, sekolah mulai menghawatirkan kejujuran siswa yang selama ini telah tertancap kuat.
Sebenarnya, kehawatiran itu sah-sah saja, tidak masalah. Tapi yang
menjadi masalah kemudian adalah, kekhawatiran itu mengahasilkan
tindakan. Jika dulu, sebelum mendekati detik-detik UN, yel-yel kita
berbunyi, “apa pun hasilnya, jika diperoleh dengan kejujuran, maka
itulah yang terbaik.” Namun agaknya, yel-yel itu tak lagi terpakai dan
berganti, “apapun caranya, yang penting hasilnya lulus.”
Jika yel-yelnya saja sudah berubah bunyi, tentu tidakannya pun akan
berubah. Try out yang awalnya sebagai alat ukur kesiapan dan kemampuan
siswa untuk mengerjakan soal UN, kini memiliki fungsi ganda sebagai
simulasi aman mencontek. Bagaimana pun caranya, siswa yang pandai harus
bisa mendisrtibutorkan jawabannya kepada teman-temannya yang lemah.
Simulasi ini untuk meminimalisir terjadinya kegaduhan akibat aksi
contek itu, harus rapi dan aman.
Berangkat dari sini lah, penulis menganggap bahwa UN merupakan ujian
kejujuran untuk sekolah dan para guru. Karena baik dan buruknya tingkat
kelulusan siawa menjadi standart baik buruknya reputasi sekolah.
Tingkat kelulusan 100% yang tidak jujur ini, kemudian dijadikan alat
untuk mendongkrak harga jual kepada calon siswa baru di awal Tahun
Ajaran baru. Tampa malu pihak selolah akan menempel baliho penerimaan
siswa baru dengan tulisan, “Sekolah Lulus UN 100%”. Ini jelas
pembodohan public sekaligus pembohongan bagi calon siswa baru.
Cara mendongkrak repurasi sekolah dengan cara seperti ini memang mudah,
bahkan menguntungkan. Tapi cara instant ini hanya akan dirasakan dalam
waktu jangka pendek saja. Dan nasib jangka panjang, masyarakat akan
bisa menilai bahwa sekolah semacam ini adalah sekolah abal-abal dan
murahan.
Seharusnya, kekhawatiran pihak sekolah terhadap ketidaklulusan siswanya
dijadikan bahan koreksi dan batu loncatan untuk berinovasi dalam hal
mutu pendidikan dan cara pembelajaran. Bukan justru dijadikan sebagai
titik awal punahnya tradisi kejujuran, baik oleh para murid maupun oleh
pihak sekolah secara umum.
Biarkan para murid berada pada kejujurannya. Nilai akhir memang penting, tapi yang lebih penting adalah prosesnya.
Oleh: Ahmad Hilmi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar