Pages

Kamis, 14 November 2013

Harta Bersama (Gono-gini) Dalam Kacamata Syariah Islam, Adakah?

“pa, setelah kita nikah, berarti harta papa menjadi harta mama juga ya?”
“iya, harta papa menjadi harta mama juga.” Jawab suaminya.
“tapi pa,…….” Sambung isrtinya tanpa melanjutkan kata-katanya. Agak malu ngucapinya.
“tapi kenapa ma?”
“tapi harta mama tetap harta mama lho ya.” Lanjutnya. “warisan  yang mama dapat dari orang tua tetap jadi milik mama lho, papa gak usah ikut punya. Kan papa kepala keluarga.”
“gleg (sambil nelen ludah).” Suaminya hanya bengong saja.

Percakapn ini berlangsung ketika keadaan rumah tangga dalam keadaan normal. Tetapi akan beda persoalan ketika sedang dalam sidang perceraian dan meributkan pembagian harta.


“saya punya hak separuh (setengah) dari semua harta ini.” Ucap istinya.
“hak dari mana? Kan saya yang kerja tiap hari.” Jawab suaminya.
“saya kan istri kamu, jadi saya puya hak dari harta yang ada.”
“kalau kamu gak ngasih bagian gono-gini, aku gak mau dicerai.”
“hmmm.” Suaminya hanya bingung lagi.

Fenomena seperti ini yang kemudian disebut kebanyakan pihak sebagai kesamaan hak atas harta bersama. Wanita akan mati-matian memperjuangkan hak harta setelah perceraian.

Sangat perbeda kondisinya ketika suami mempunya banyak hutang. Tentu hutang yang terjadi setelah adanya pernikahan. Baik hutang untuk konsumsi rumah tangga, maupun hutang untuk usaha keluarga.

“pokoknya saya gak mau tahu, kita harus cerai.”
“oke, kita cerai. Tapi ada syaratnya.” Tantang suaminya.
“apa?”
“hutang yang selama ini kita tanggung harus kita bagi dua. Kamu bayar setengah saya bayar setengah.”
“enak aja, kan kamu yang ambil hutang. Hutang juga atas nama kamu. Ya kamu dong yang bayar, gak usah ajak-ajak saya.” Cerocos istrinya.
“enak aja gimana, saya ngambil hutang itu juga gara-gara kamu.” “gara-gara kebiasaan shoping kamu yang kelewatan, hutang keluarga jadi nupuk.” Terang suaminya.
“tetap nggak. Hutang tetap jadi hutang kamu.” Bantah istrinya.

Berbeda bukan?
Beda kondisi beda ucapan. Ketika suami punya harta, istri ikut mengakui haknya. Tapi ketika yang dipunya suami adalah hutang, istri angkat tangan. Apa seperti ini yang disebut kesamaan hak. Belum berhenti disitu saja, setelah berceraipun, kewajiban membiayai kebutukhan anak dibebankan kepada mantan suaminya.


Femomena Perceraian Dan Harta Gono-gini

Dalam setiap kasus perceraian, selalu saja persoalan harta gono-gini turut meramaikan ruang pengadilan. Jadi bukan hanya persoalan pisahnya hubungan perkawinan saja yang disidangkan, tetapi juga ada persoalan pembagian harta antara suami istri. Karena ada pihak yang menganggap, bahwa ikatan pekawinan/penikahan menjadikan pasangan memiliki hak satu sama lain. Bukan hanya berhak dalam hal status hubungan sebagai suami maupun istri saja, tapi juga rasa berhak atas harta yang dimiliki oleh pasangannya. Jadi seolah-olah, dengan adanya status perkawinan, harta seseorang menjadi harta pasangannya secara otomatis, walaupun tanpa adanya kesepakatan.

Tapi sayangnya, rasa berhak memiliki hanya ketika suami memiliki banyak harta, tapi tidak berlaku ketika suami banyak hutang.  Jika harta menjadi harta bersama, tapi hutang tetap hutang sendiri.



Bebas Memakai, Tapi Tidak Boleh Menjual

Sebenarnya fenomena ini, rasa  memiliki dan rasa berhak atas harta pasangan, sudah lazim terjadi di masyarakat kita. Tapi yang menjadi masalah kemudian adalah rasa berhak yang timbul hanya sebatas hak guna dan pakai saja atau juga hak memiliki layaknya harta sendiri?

Nah, dalam status hak pakai dan hak memiliki seperti ini, maka masing-masing ada konsekuensinya. Jika dikatakan hanya sebatas hak pakai, maka masing-masing pasangan hanya boleh memanfaatkan harta pasangannya selama status pernikahan masing berjalan, tidak lebih dari itu. Boleh memakai, tapi tidak boleh menjual.

Contoh kasus 1
Ahmad menikah dengan Aminah. Dan Ahmad sudah memiliki sebuah rumah yang bersertifikat. Setelah mereka menikah, maka Aminah memiliki hak guna atas rumah yang dimiliki Ahmad, layaknya tanggung jawab suami atas istrinya. Tapi belum tentu Aminah memiliki hak kepemilikan atas rumah  tersebut. Aminah boleh menggunakan rumah tersebut sebagai tempat tinggal, tapi Aminah tidak boleh menjual rumah tersebut atau menggadaikan sertifikatnya tanpa seizin Ahmad.

Lebih lanjut, jika rumah beserta sertifikatnya adalah murni milik Ahmad, maka ketika terjadi perceraian, Aminah tidak memiliki hak atas rumah itu lagi. Artinya, rumah tersebut tidah bisa digugat atas dasar harta bersama.



Pengertian Harta Gono-gini yang Kurang Tepat

Harta bersama (gono-gini) adalah harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan. Meskipun harta tersebut diperoleh dari hasil kerja suami saja, isteri tetap memiliki hak atas harta bersama. Jadi, harta bersama meliputi harta yang diperoleh dari usaha suami dan isteri berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Ini berarti baik suami maupun istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama atas harta bersama dan segala tindakan hukum atas harta bersama harus mendapat persetujuan kedua belah pihak. Harta bersama dapat berupa benda berwujud, benda tidak berwujud (hak dan kewajiban), benda bergerak, benda tidak bergerak dan surat-surat berharga.

Sepanjang tidak diatur lain dalam perjanjian perkawinan, apabila terjadi perceraian maka masing-masing pihak isteri maupun suami berhak atas separoh (seperdua) dari harta bersama.

Contoh kasus 2
Setelah Ahmad dan Aminah menyandang status pernikahan/ perkawinan, mereka membeli sebuah mobil dengan uang Ahmad, atau dengan uang Aminah atau dengan uang Ahmad dan uang Aminah secara bersamaan (patungan). Maka mobil tersebut secara otomatis berstatus harta bersama (gono gini).

Jadi, apapun hartanya, dari manapun diperolehnya, selama itu diperoleh setelah adanya status perkawinan, maka secara otomatis harta itu menjadi harta bersama (gono-gini) kedua pasangan. Baik dari hasil kerja,  maupun dari pemberian, waris, hibah dan lain sebagainya.

Jelas, pemahaman gono-gini semacam ini sangat keliru. Bahkan bisa merugikan masing-masing pasangan. Saya bisa katakana seperti itu karena ada sebagian pasangan (baik suami maupun istri) yang motivasi menikahnya sudah keliru dari awal pernikahan.


Pengertian Harta Gono-gini Dalam KHI (kompilasi Hukum Islam)

Di dalam KHI, buku Pernikahan bab  XIII “HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN” disebutkan:
Pasal 86
1.       Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
2.       Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.

Pasal 87
1.       Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai wasiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

2.       Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.
2

Contoh Kasus 3
1.       Ahmad bekerja, maka hasil kerja Ahmad sepenuhnya adalah  milik Ahmad. Begitupun jika dia mendapatkan warisan dari orang tuanya, maka harta warisan tersebut juga menjadi hak milik Ahmad sepenuhnya.

2.   Begitu pula dengan Aminah, jika dia mendapatkan izin bekerja dari Ahmad, suaminya, maka hasil kerja Aminah menjadi hak sepenuhnya yang tidah boleh diganggu oleh Ahmad. Begitupun dengan harta yang lain, seperti warisan dari orang tuanya atau mas kawin (mahar) dari Ahmad, maka Ahmad tidak boleh mendekati harta tersebut selain mendapatkan izin. hal ini juga berlaku pada harta pemberian dari Ahmad. Jika Ahmad menghadiahkan sebuah mobil kepada Aminah, maka mobil tersebut menjadi milik Aminah sepenuhnya.

Dalam dua pasal di atas, tesirat pesan bahwa masing-masing pasangan memiliki hak sepenuhnya atas harta yang mereka miliki dan tidak bisa diakui dan diganggu oleh pasangannya. Harta suami tetap menjadi harta suami, begitupun harta istri tetap menjadi harta istri, setelah atau sebelum adanya status pernikahan.



Yang Termasuk Harta Gono-gini

Untuk mengetahui status harta, apakah termasuk gono-gini atau bukan, maka bisa dilihat dari kesepakatan yang terjadi. Karena pada dasarnya yang dimaksud dengan harta bersama (gono-gini) adalah harta yang diperoleh secara bersamaan, bukan semata-mata adanya status pernikahan. Hal ini yang perlu difahami.


Contoh Kasus 4
1.   Ahmad dan Aminah membeli sebuah rumah dengan uang sokongan dari keduanya. Maka status rumah tersebut  menjadi harta bersama (gono-gini) walaupun sertifikat rumah tersebut atas nama salah satu pasangan.

2.  Ahmad dan Aminah menerima pemberian dari seseorang, bisa hadiah, hibah maupun shodaqoh yang diatasnamakan dengan nama keduanya. “rumah ini saya hibahkan kepada kalian berdua, atas nama kalian berdua, untuk keluarga ini.”  jika ada perjanjian atau ikrar seperti itu dari si penghibah, maka status harta tersebut menjadi harta bersama yang hak kepemilikannya fifti-fifti.


Harta Gono Gini Dalam Islam, Adakah?

Sebenarnya, Islam  tidak mengenal istilah harta gono-gini sebagaimana yang dipahami oleh mayoritas masyarkat. Yaitu pemahaman yang menjadikan status pernikahan sebagai bukti kepemilikan harta pasangannya. Karena yang menjadi hak istri atas harta hanya sebatas kecukupan nafkah (kesejahteraan) yang diberikan suami sesuai dengan kemampuan, bukan keseluruhan harta suami.

Ketika terjadi perceraian, maka hak masing-masing pasangan adalah:
1.       Masing-masing pasangan berhak membawa dan mengakui harta pribadinya, apapun itu bentuknya.
2.       Masing-masing pasangan berhak mendapatkan harta bersama (gono-gini). Yaitu harta yang memang jelas itu milik bersama, bukan milik masing-masing pasangan atau milik salah satu pasangan. Dalam kasus ini harta suami tidah boleh dianggap sebagai harta gono-gini. Hal ini diatur dalam UU perkawinan :

Pasal 97
Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

3.       Dan yang terkhir, istri mendapatkan  mut’ah (harta kesejahteraan pasca perceraian) dari mantan suaminya sesuai kerelaan dan kemampuannya. Hal ini tersurat  di dalam firman Allah:

وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
“dan bagi wanita-wanita yang ditalaq (cerai) kendahlah diberi mut’ah menurut cara yang patut, sebagai suatu kewajibanbagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Albaqarah: 241)

Besaran mut’ah sendiri tidak ada batasan tertentu. Maka mantan suami boleh memberikannya sesuai kerelaan dan kemampuannya.

وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
“dan berilah mereka mut’ah, bagi  yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberiandengan cara  yang patut, yang merupakankewajiban bagi orang-orang yangberbua baik” (QS. Albaqarah: 236)

Ayat yang kedua ini, justeru kewajiban mut’ah bagi wanita yang diceraikan sebelum berhubungan badan dengan suaminya. Maka oleh sebagian ulama hukum mut’ah tidak wajib bagi pasangan yang sudah melakukan hubungan badan dengan mahar yang sudah disebutkan.

Terakhir, jika memang perceraian benar terjadi, maka kedua pasangan boleh melakukan cara shulh (perdamaian) sesuai dengan kesepakatan keduanya. Terutama perdamian yang berhubungan dengan harta. Tentu, perdamaian yang tidak melanggar aturan-aturan agama serta tidak merugikan satu sama lain dari kedua pasangan.
Rasulullah SAW bersabda:

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Perdamaian  boleh (dilakukan) di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram” (HR.  Abu Dawud, Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Tirmidzi)

Wallahu a’lam bisshawab

Oleh: Ahmad Hilmi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About