“pa, setelah
kita nikah, berarti harta papa menjadi harta mama juga ya?”
“iya, harta papa
menjadi harta mama juga.” Jawab suaminya.
“tapi pa,…….” Sambung
isrtinya tanpa melanjutkan kata-katanya. Agak malu ngucapinya.
“tapi kenapa ma?”
“tapi harta mama
tetap harta mama lho ya.” Lanjutnya. “warisan yang mama dapat dari orang tua tetap jadi
milik mama lho, papa gak usah ikut punya. Kan papa kepala keluarga.”
“gleg (sambil
nelen ludah).” Suaminya hanya bengong saja.
Percakapn ini
berlangsung ketika keadaan rumah tangga dalam keadaan normal. Tetapi akan beda persoalan
ketika sedang dalam sidang perceraian dan meributkan pembagian harta.
“saya punya hak
separuh (setengah) dari semua harta ini.” Ucap istinya.
“hak dari mana? Kan
saya yang kerja tiap hari.” Jawab suaminya.
“saya kan istri
kamu, jadi saya puya hak dari harta yang ada.”
“kalau kamu gak
ngasih bagian gono-gini, aku gak mau dicerai.”
“hmmm.” Suaminya
hanya bingung lagi.
Fenomena seperti
ini yang kemudian disebut kebanyakan pihak sebagai kesamaan hak atas harta
bersama. Wanita akan mati-matian memperjuangkan hak harta setelah perceraian.
Sangat perbeda
kondisinya ketika suami mempunya banyak hutang. Tentu hutang yang terjadi
setelah adanya pernikahan. Baik hutang untuk konsumsi rumah tangga, maupun
hutang untuk usaha keluarga.
“pokoknya saya
gak mau tahu, kita harus cerai.”
“oke, kita
cerai. Tapi ada syaratnya.” Tantang suaminya.
“apa?”
“hutang yang
selama ini kita tanggung harus kita bagi dua. Kamu bayar setengah saya bayar
setengah.”
“enak aja, kan
kamu yang ambil hutang. Hutang juga atas nama kamu. Ya kamu dong yang bayar,
gak usah ajak-ajak saya.” Cerocos istrinya.
“enak aja
gimana, saya ngambil hutang itu juga gara-gara kamu.” “gara-gara kebiasaan
shoping kamu yang kelewatan, hutang keluarga jadi nupuk.” Terang suaminya.
“tetap nggak. Hutang
tetap jadi hutang kamu.” Bantah istrinya.
Berbeda bukan?
Beda kondisi
beda ucapan. Ketika suami punya harta, istri ikut mengakui haknya. Tapi ketika
yang dipunya suami adalah hutang, istri angkat tangan. Apa seperti ini yang
disebut kesamaan hak. Belum berhenti disitu saja, setelah berceraipun,
kewajiban membiayai kebutukhan anak dibebankan kepada mantan suaminya.
Femomena Perceraian
Dan Harta Gono-gini
Dalam setiap
kasus perceraian, selalu saja persoalan harta gono-gini turut meramaikan ruang
pengadilan. Jadi bukan hanya persoalan pisahnya hubungan perkawinan saja yang
disidangkan, tetapi juga ada persoalan pembagian harta antara suami istri. Karena
ada pihak yang menganggap, bahwa ikatan pekawinan/penikahan menjadikan pasangan
memiliki hak satu sama lain. Bukan hanya berhak dalam hal status hubungan
sebagai suami maupun istri saja, tapi juga rasa berhak atas harta yang dimiliki
oleh pasangannya. Jadi seolah-olah, dengan adanya status perkawinan, harta
seseorang menjadi harta pasangannya secara otomatis, walaupun tanpa adanya
kesepakatan.
Tapi sayangnya,
rasa berhak memiliki hanya ketika suami memiliki banyak harta, tapi tidak
berlaku ketika suami banyak hutang. Jika
harta menjadi harta bersama, tapi hutang tetap hutang sendiri.
Bebas Memakai,
Tapi Tidak Boleh Menjual
Sebenarnya fenomena
ini, rasa memiliki dan rasa berhak atas
harta pasangan, sudah lazim terjadi di masyarakat kita. Tapi yang menjadi
masalah kemudian adalah rasa berhak yang timbul hanya sebatas hak guna dan
pakai saja atau juga hak memiliki layaknya harta sendiri?
Nah, dalam status hak pakai dan hak memiliki
seperti ini, maka masing-masing ada konsekuensinya. Jika dikatakan hanya
sebatas hak pakai, maka masing-masing pasangan hanya boleh memanfaatkan harta
pasangannya selama status pernikahan masing berjalan, tidak lebih dari itu. Boleh
memakai, tapi tidak boleh menjual.
Contoh kasus
1
Ahmad menikah
dengan Aminah. Dan Ahmad sudah memiliki sebuah rumah yang bersertifikat. Setelah mereka menikah, maka Aminah memiliki hak
guna atas rumah yang dimiliki Ahmad, layaknya tanggung jawab suami atas
istrinya. Tapi belum tentu Aminah memiliki hak kepemilikan atas rumah tersebut. Aminah boleh menggunakan rumah tersebut
sebagai tempat tinggal, tapi Aminah tidak boleh menjual rumah tersebut atau
menggadaikan sertifikatnya tanpa seizin Ahmad.
Lebih
lanjut, jika rumah beserta sertifikatnya adalah murni milik Ahmad, maka ketika
terjadi perceraian, Aminah tidak memiliki hak atas rumah itu lagi. Artinya, rumah
tersebut tidah bisa digugat atas dasar harta bersama.
Pengertian Harta
Gono-gini yang Kurang Tepat
Harta bersama
(gono-gini) adalah harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh selama
berlangsungnya perkawinan. Meskipun harta tersebut diperoleh dari hasil kerja
suami saja, isteri tetap memiliki hak atas harta bersama. Jadi, harta bersama
meliputi harta yang diperoleh dari usaha suami dan isteri berdua atau usaha
salah seorang dari mereka. Ini berarti baik suami maupun istri mempunyai hak
dan kewajiban yang sama atas harta bersama dan segala tindakan hukum atas harta
bersama harus mendapat persetujuan kedua belah pihak. Harta bersama dapat
berupa benda berwujud, benda tidak berwujud (hak dan kewajiban), benda
bergerak, benda tidak bergerak dan surat-surat berharga.
Sepanjang tidak
diatur lain dalam perjanjian perkawinan, apabila terjadi perceraian maka
masing-masing pihak isteri maupun suami berhak atas separoh (seperdua) dari
harta bersama.
Contoh kasus
2
Setelah
Ahmad dan Aminah menyandang status pernikahan/ perkawinan, mereka membeli
sebuah mobil dengan uang Ahmad, atau dengan uang Aminah atau dengan uang Ahmad
dan uang Aminah secara bersamaan (patungan). Maka mobil tersebut secara
otomatis berstatus harta bersama (gono gini).
Jadi, apapun
hartanya, dari manapun diperolehnya, selama itu diperoleh setelah adanya status
perkawinan, maka secara otomatis harta itu menjadi harta bersama (gono-gini)
kedua pasangan. Baik dari hasil kerja, maupun dari pemberian, waris, hibah dan lain
sebagainya.
Jelas, pemahaman
gono-gini semacam ini sangat keliru. Bahkan bisa merugikan masing-masing
pasangan. Saya bisa katakana seperti itu karena ada sebagian pasangan (baik
suami maupun istri) yang motivasi menikahnya sudah keliru dari awal pernikahan.
Pengertian Harta
Gono-gini Dalam KHI (kompilasi Hukum Islam)
Di dalam KHI, buku
Pernikahan bab XIII “HARTA KEKAYAAN
DALAM PERKAWINAN” disebutkan:
Pasal
86
1.
Pada dasarnya tidak ada
percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
2.
Harta isteri tetap menjadi
hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi
hak suami dan dikuasi penuh olehnya.
Pasal
87
1.
Harta bawaan masing-masing
suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai wasiah atau
warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan
lain dalam perjanjian perkawinan.
2.
Suami dan isteri mempunyai
hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa
hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.
2
Contoh Kasus
3
1.
Ahmad bekerja, maka hasil
kerja Ahmad sepenuhnya adalah milik
Ahmad. Begitupun jika dia mendapatkan warisan dari orang tuanya, maka harta
warisan tersebut juga menjadi hak milik Ahmad sepenuhnya.
2. Begitu pula dengan Aminah, jika
dia mendapatkan izin bekerja dari Ahmad, suaminya, maka hasil kerja Aminah
menjadi hak sepenuhnya yang tidah boleh diganggu oleh Ahmad. Begitupun dengan
harta yang lain, seperti warisan dari orang tuanya atau mas kawin (mahar) dari
Ahmad, maka Ahmad tidak boleh mendekati harta tersebut selain mendapatkan izin.
hal ini juga berlaku pada harta pemberian dari Ahmad. Jika Ahmad menghadiahkan
sebuah mobil kepada Aminah, maka mobil tersebut menjadi milik Aminah
sepenuhnya.
Dalam dua pasal
di atas, tesirat pesan bahwa masing-masing pasangan memiliki hak sepenuhnya
atas harta yang mereka miliki dan tidak bisa diakui dan diganggu oleh pasangannya.
Harta suami tetap menjadi harta suami, begitupun harta istri tetap menjadi
harta istri, setelah atau sebelum adanya status pernikahan.
Yang Termasuk
Harta Gono-gini
Untuk mengetahui
status harta, apakah termasuk gono-gini atau bukan, maka bisa dilihat dari
kesepakatan yang terjadi. Karena pada dasarnya yang dimaksud dengan harta
bersama (gono-gini) adalah harta yang diperoleh secara bersamaan, bukan
semata-mata adanya status pernikahan. Hal ini yang perlu difahami.
Contoh Kasus
4
1. Ahmad dan Aminah membeli
sebuah rumah dengan uang sokongan dari keduanya. Maka status rumah tersebut menjadi harta bersama (gono-gini) walaupun
sertifikat rumah tersebut atas nama salah satu pasangan.
2. Ahmad dan Aminah menerima
pemberian dari seseorang, bisa hadiah, hibah maupun shodaqoh yang diatasnamakan
dengan nama keduanya. “rumah ini saya hibahkan kepada kalian berdua, atas nama
kalian berdua, untuk keluarga ini.” jika
ada perjanjian atau ikrar seperti itu dari si penghibah, maka status harta
tersebut menjadi harta bersama yang hak kepemilikannya fifti-fifti.
Harta Gono
Gini Dalam Islam, Adakah?
Sebenarnya, Islam
tidak mengenal istilah harta gono-gini
sebagaimana yang dipahami oleh mayoritas masyarkat. Yaitu pemahaman yang menjadikan
status pernikahan sebagai bukti kepemilikan harta pasangannya. Karena yang
menjadi hak istri atas harta hanya sebatas kecukupan nafkah (kesejahteraan)
yang diberikan suami sesuai dengan kemampuan, bukan keseluruhan harta suami.
Ketika terjadi
perceraian, maka hak masing-masing pasangan adalah:
1.
Masing-masing pasangan
berhak membawa dan mengakui harta pribadinya, apapun itu bentuknya.
2.
Masing-masing pasangan
berhak mendapatkan harta bersama (gono-gini). Yaitu harta yang memang jelas itu
milik bersama, bukan milik masing-masing pasangan atau milik salah satu
pasangan. Dalam kasus ini harta suami tidah boleh dianggap sebagai harta
gono-gini. Hal ini diatur dalam UU perkawinan :
Pasal
97
Janda
atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang
tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
3.
Dan yang terkhir, istri
mendapatkan mut’ah (harta
kesejahteraan pasca perceraian) dari mantan suaminya sesuai kerelaan dan
kemampuannya. Hal ini tersurat di dalam
firman Allah:
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
“dan bagi wanita-wanita yang ditalaq (cerai)
kendahlah diberi mut’ah menurut cara yang patut, sebagai suatu kewajibanbagi
orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Albaqarah: 241)
Besaran mut’ah
sendiri tidak ada batasan tertentu. Maka mantan suami boleh memberikannya
sesuai kerelaan dan kemampuannya.
وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ
وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
“dan
berilah mereka mut’ah, bagi yang mampu
menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu
pemberiandengan cara yang patut, yang
merupakankewajiban bagi orang-orang yangberbua baik” (QS. Albaqarah: 236)
Ayat yang kedua
ini, justeru kewajiban mut’ah bagi wanita yang diceraikan sebelum berhubungan
badan dengan suaminya. Maka oleh sebagian ulama hukum mut’ah tidak wajib bagi
pasangan yang sudah melakukan hubungan badan dengan mahar yang sudah
disebutkan.
Terakhir, jika
memang perceraian benar terjadi, maka kedua pasangan boleh melakukan cara shulh
(perdamaian) sesuai dengan kesepakatan keduanya. Terutama perdamian yang
berhubungan dengan harta. Tentu, perdamaian yang tidak melanggar aturan-aturan
agama serta tidak merugikan satu sama lain dari kedua pasangan.
Rasulullah SAW
bersabda:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا
أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Perdamaian
boleh (dilakukan) di antara kaum
muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang
menghalalkan yang haram” (HR. Abu Dawud,
Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Tirmidzi)
Wallahu a’lam
bisshawab
Oleh: Ahmad
Hilmi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar