Pages

Sabtu, 05 April 2014

Saya Mendukung Pemilu, Bukan Membenci

Pemilu, yang sebentar lagi digelar, tidak bisa dipisahkan dengan aksi sosialisasi dan pengenalan. Ya, kita menyebutnya kampanye.

Kalau mau jujur, sebenarnya ada sisi kemiripan antara kampanye politik dan iklan dagangan. Keduanya sama-sama ingin dipilih dan dibeli. Cara menjajakannya pun nyaris tak ada beda, “dipilih-dipilih, 10 ribu tiga.” Dan yang tak kalah ‘kerennya’ lagi adalah atribut iklan yang digunakan, ramai dan terkesan murah meriah.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan iklan-iklan politik semacam itu. Semua sah-sah saja untuk dilakukan, asalkan beretika.
Janji yang disampaikan rata-rata manis dan sedap didengar. Tapi sayang, cara yang digunakan untuk menyampaikan sangat jauh dari etika.


1. Atribut Kampanye Yang Tidak Tertib
Pohon dipunggir jalan yang harusnya tidak bisa membaca, kali ini harus dipaksa untuk pura-pura bisa baca. Menempel atribut kampanye dengan dipaku, saya pandang bagian dari pemaksaan. Kalau mau cara efisien, kenapa tidak dipaku saja dipunggung para caleg dan team suksesnya.
Masalah belum selesai. Setelah berakhir masa kampanye, saya yakin tidak ada satu pun caleg dan simpatisannya yang mau melepas dan membersihkan atribut kampanyenya sendiri. Mereka ‘bakal’ cuek bebek dengan atributnya yang sudah merusah pemandangan.
Bayangkan saja, belum jadi pejabat saja sudah ‘nyusahin’ dan bikin repot.

2. Pawai
Hanya sekedar berinovasi dalam kampanye yang baik dan sopan saja tidak mampu. Bagaimana mau inovasi dalam menyejahterakan rakyat. Tidak ada bedanya, pawai politik dengan geng motor. Kalau geng motor, mereka mau disebut preman, tapi kalau peserta pawai, mereka tidak mau disebut preman. Perilakunya sama bejatnya di jalanan.
Dari gaya kampanyenya saja sudah tidak meyakinkan, lantas bagaimana gayanya yang katanya mewakili rakyat. Gaya preman juga kah?

3. Tempat Kampanye Yang Salah
Seakan sudah kehabisan tempat untuk beriklan, sebagian caleg blusukan ke sekolah-sekolah dan masjid-masjid. Tanpa melihat undang-undang tentang aturan main kampanye pun, seharusnya akal sehat sudah bisa membedakan mana tempat yang layak dan tak layak untuk kampanye. Seharusnya, Sekolah-sekolah dan Masjid itu dibiarkan dalam posisinya yang netral dalam politik. Saya yakin, tidak semua penghuni sekolah, perangkat dan dewan guru serta murid dalam pandangan politik yang sama. Begitu pun dengan masjid.

Jadi, sudahlah, biarkan dua tempat itu bersih dari yel yel kampanye politik.
Saya pribadi menilai, kampanye politik di dua tempat itu sangat tidak beretika dan bermoral.

*****

Yakinkanlah para calon pemilih dengan kampanye yang baik. Tampakkan citra pemilu yang memilukan ini dengan citra yang baik.
Selamat mengikuti pesta akbar 9 April 2014.


Oleh: Ahmad Hilmi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About