Diantara
perlakuan baik yang dilakukan orang tua kepada anaknya adalah dengan cara
menyelenggarakan ibadah aqiqah untuknya. Tapi kenyataannya, tidak semua orang
tua mampu menyembelihkan hewan aqiqah untuk anaknya tepat setelah kelahirannya
atau tujuh hari setelahnya. Yang paling sering menjadi kendala terselenggaranya
ibadah ini ialah faktor ekonomi. Maka pertanyaan selanjutnya adalah, haruskah
aqiqah dilaksanakan pada hari ke-7 atau boleh dilaksanakan di luar hari itu?
Dalam masalah
waktu pelaksanaannya, ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharuskan hari ke-7
bersamaan dengan pemberian nama. Ada juga yang membolehkannya hingga masa nifas
ibunya selesai. Namun ada juga yang melonggoggarkannya sampai si anak menjelang
masuk usia balignya, bahkan ada juga yang membolehkannya sampai kapan pun
sampai orang tua benar-benar mampu.
Berikut ini
penjelasan para ulama beserta dalil yang menguatkannya.
Kapan
boleh dimulai aqiqah?
Secara umum,
jumhur ulama berpendapat bahwa waktu di-sunnahkannya penyembelihan hewan
aqiqah pada hari ke-7. Akan tetapi mereka berberda pendapat tentang hari
kebolehan diluar sunnah.
Namun, Syafiiyah
dan Hanabilah membolehkan pelaksanaan aqiqah tepat setelah bayi dilahirkan dan
tidak harus menunggu sampai hari ke-7. Tapi mereka tidak membolehkan sebelum
bayi dilahirkan. Maka, jika penyembelihan dilakukan sebelum kelahiran bayi,
dianggap sebagai sembelihan biasa dan bukan aqiqah. Hal ini didasari atas suatu
sebab yaitu kelahiran. Maka jika bayi sudah terlahir aqiqah boleh dilaksanakan.
Sedangkan
Hanafiyah dan Malikiyah baru membolehkan pelaksanaan aqiqah pada hari ke-7
pasca kelahiran. Dan aqiqah tidak sah (dianggap sembelihan biasa) jika
dilaksanakan sebelumnya.[1]
Sebagian ulama
menghitung hari kelahiran hanya pada siangnya saja. Maka jika ada anak yang
lahir selepas magrib, maka satu harinya dihitung mulai besok pagi.
Kapan waktu
aqiqah berlalu?
1. Hari ke-7
Kalangan
Malikiyah berpendapat bahwa waktu aqiqah hanya sampai hari ke-7 pasca
kelahiran. Jika hari ke-7 sudah berlalu maka ibadah aqiqah sudah tidak lagi
berlaku.
2. Sampai anak usia
baligh
Sedangkan
Syafi’iyah, mereka membolehkan bagi orang tua melasanakan aqiqah anaknya hingga
dia masuk usia baligh.[2]
Ini yang mustahabb. Maka ketika telah masuk usia baligh, orang tua tidak
lagi terbebani ibadah ini. Akan tetapi anak itulah yang akan melaksanakan
aqiqahnya sendiri jika mampu. Demikian yang diriwayatkan dalam sebuah hadits,
bahwa Rasulallah meng-aqiqahi dirinya sendiri ketika beliau sudah
menjadi nabi.[3]
Al-Imam
an-Nawawi di dalam kitabnya Syarhu al-Muhadzab,[4]
mengatakan jika hadits tentang aqiqahnya Nabi untuk dirinya sendiri itu
merupakan hadits bathil.
3. Sampai selesai
masa nifas ibunya.
4.. Anak boleh
mengaqiqahi dirinya sendiri kapan pun
Namun demikian, ada
ulama yang membolehkan bagi anak untuk meng-aqiqahi dirinya sendiri jika mampu dengan keumuman
hadits,
كُلُّ
غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ، تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ، وَيُحْلَقُ
رَأْسُهُ، وَيُسَمَّى
Artinya:
“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, maka disembelihkan hewan untuknya pada
hari ke-7, dicukur rambutnya, dan diberi nama” (HR. Ibn
Majah)[5]
Kata tergadai (مُرْتَهَنٌ)
berarti harus dilaksanakan dan ditunaikan kapan pun dan oleh siapapun. Jika masih
hari ke-7 atau sebelum baligh, maka menjadi tanggungan orang tua. Namun jika
sudah lewat, maka boleh dilaksanakan oleh siapapun temasuk oleh anak itu
sendiri, jika dia mampu. Kata ‘boleh’ dalam hal ini bukan berati sunnah.
Wallahu a’lam
Oleh: Ahmad
Hilmi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar