Pages

Selasa, 12 Agustus 2014

Jilbab dan Jilb**bs, Antara Kenyataan dan Pemakluman

Belakangan ini, tersebar istilah plesetan baru dalam model jilbab. Banyak anak muda menyebutnya jilb**b. Dari katanya saja kita sudah bisa memahami maksud istilah itu.

Sebagai seorang muslim, munculnya plesetan itu tentu membuat rasa pilu hati kita semua. Bagaimana tidak, jilbab yang seharusnya jadi identitas muslim dan pakaian kehormatan, kali ini malah menjadi bahan candaan dan guyonan. Dan tak jarang, kita yang punya ilmu agama yang lebih, malah ikut mempopulerkan plesetan itu dalam guyonan dan candaan.


Dari fenomena ini, muncul banyak penilaian dan pelabelan terhadap muslimah yg berjilbab dg model ini (berjilbab tapi menampakkan lekuk tubuh). Tentu, yang paling nampak di permukaan adalah penilaian negatif. “Wah, itu neraka. Masa orang berjilbab malah pakaiannya seksi”, komentar seseorang di sosmed. Ada juga yg menyayangkan, “mendingan gak usah pakai jilbab kalau seksi gitu. Malu2in Islam saja”, dan seabreg komentar nyinyir lainnya terhadap pengguna jilbab seksi ini.

Jika dilihat dari sisi syariat, tentu jilbab semacam itu masih jauh dari aturan. Sebagaimana kita semua tahu, pakaian syar’i itu tidak transparan, tidak ketat dan menutupi semua anggota tubuh selain wajah dan telapak tangan, serta cadar bagi mereka yang mewajibkan. Ini yang syar’i. Dan selain itu, tercela, tidak islami, dan NERAKA. ups, sadis.

Ternyata, memandang fenomena itu butuh dua fiqih, fiqih ibadah dan fiqih dahwah. Kalau hanya dilihat dari sisi fiqih ibadah, ya yang muncul hanya menilai salah dan negatif yang ujungnya neraka. Tapi, kalau diimbangi dengan fiqih dakwah, maka akan muncul pemakluman. Bukan pemakluman dalam konteks kesalahan dalam berpakaian, tapi pemakluman dalam segi proses.

Kalau kita mau sadar diri dalam menilai dan melihat objek yg sedang kita nilai (jilbab seksi), tentu kita akan lebih hati-hati dalam menilai. Kok bisa?

Kita anggap saja tampilan itu sebagai proses. Dari yang sebelumnya tidak berjilbab sekarang mau berjilbab. Jangan malah kita beri saran untuk melepas. “Kalau jilbabnya aduhai kayak gitu mendingan gak usah pakai”. Itu kan saran konyol. Lha wong sekedar nempelin kain kecil dikepala aja mereka butuh perjuangan besar, pertentangan dari segala arah, termasuk tekanan batin.

Mbok ya diapresiasi usaha mereka itu. Jangan malah dicela dan dijadikan bahan guyonan. Dan kalau seperti itu kenyataannya, yang malu-maluin Islam itu mereka atau kita yang suka mencela.?


Dan mereka yang jilbabnya belum sempurna, rata-rata datang dari kalangan yg bekal agamanya kurang, baik pendidikan dan lingkungan. Sekarang pertanyaannya, sudahkah kita berdakwah kepada mereka.? Pernahkah kita turun ke lapangan, mengajarkan mereka berjilbab yg benar? Kalau itu belum kita lakukan, berati kita mesti menjaga lisan.

Sudut pandang yg berbeda akan menghasilkan penilaian dan pelabelan yang berbeda. Harusnya, “oh iya, dia yang tidak belajar Islam di pondok pesantren saja masih mau berjilbab. Kalau saja ada yang mengajari pasti akan jauh lebih sempurna”. Kalau menilainya seperti itu kan lebih enak didengar.

Mari kita terus berdakwah untuk kesempurnaan pakaian muslimah-muslimah kita sebagai upaya membendung istilah plesetan itu.

Wallahu a’lam


Oleh: Ahmad Hilmi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About