Seorang guru disebuah sekolah yang bernaung dibawah
organisasi masyarakat A, mendapatkan cibiran dan celaan dari sebagian rekan-rekan gurunya. Dia dicibir
bukan karena melakukan kesalahan, tetapi justru ketika dia melakukan sesuatu
yang benar.
Dalam pertemuan guru yang diadakan oleh penanggung jawab
(PJ) pendidikan pada organisasi tersebut, sang guru ini mencoba menyampakan
hasil analisanya terkait ketidakdisiplinan para murid. Menurut analisanya, penyebab
ketidakdisiplinan tersebut adalah kelalaian pihak sekolah dan pihak-pihak lain yang terkait. Seakan ada
unsur pembiaran, cuek dan menganggap kondisi seperti itu sudah biasa terjadi.
Ditempat yang lain, disebuah instansi pemerintah, seorang
pegawai terancam dimutasi bahkan dipecat lantaran dia mengungkap kasus korupsi
yang melibatkan atasannya.
Dua prolog diatas merupakan dua cerita dengan dua tokoh yang
berbeda, akan tetapi keduanya memiliki ending (akhir cerita) yang sama. keduanya
diminta untuk diam dan bungkam oleh orang-orang disekitarnya ketika
menayaksikan kejahatan dan keburukan. Tidak boleh berkomentar apalagi mencagah.
Keburukan apa pun yang akan terjadi biarlah terjadi.
Nah, jika kita telusuri
lebih dalam lagi, kita akan menemukan beberapa alasan seseorang memilih
diam ketika dihadapkan dengan keburukan dan kejahatan.
Merasa kerdil
Merasa kerdil, bersikap rendah diri dan merasa tidak punya otoritas
dan kekuasaan, merupakan alasan utama seseorang untuk diam dan mendiamkan
keburukan. Dia menganggap kejahatan dan keburukan yang terjadi dihadapannya
bukan tanggung jawabnya.
Padahal dalam sebuah haits Rasulullah SAW bersabda:
أَلَا لَا يَمْنَعَنَّ رَجُلًا هَيْبَةُ النَّاسِ
أَنْ يَقُولَ بِحَقٍّ إِذَا عَلِمَهُ
“ketahuilah, jangan sekali-kali seseorang terhalangi
menyampaikan kebeneran (Haq) yang dia ketahui karena takut dengan orang” (HR.
Ibn Majah)
Dari hadits diatas sangat jelas bahwa siapapun kita, apaun
profesi kita, dimanapun tingkat sosial kita, maka tidak ada seorang pun yang mampu
membungkam mulut kita untuk menyampaikan yang benar itu benar dan yang salah
itu salah.
Biasanya orang Diam itu Mencari Aman Atau Karena Dia Juga
Pelaku Kejahatannya
Kita sering menyaksikan kejahatan dan keburukan terjadi
disekeliling kita. Sebenarnya hati kicil kita ingin mencegah dan membenahi apa
yang terjadi, akan tetapi kita memelih diam mencari aman.
Ketika seorang karyawan melihat kejahatan yang dilakukan
atasannya, dia memilih diam dan bungkam. Karena dengan diam dia bisa
mengamankan posisinya sebagai karyawan. Tetapi jika dia berkomentar atau bahkan
mencegah, boleh jadi dia dipecat.
Nah, yang lebih parah lagi motivasi seorang memilih diam
ketika melihat keburukan adalah karena dia juga pelaku yang sama.
Dalam keadaan aman, seorang tidak akan mebahas kasus korupsi kalau dia juga koruptor yang sama.
Maka harus bijak dalam menempatkan sikap diam. Karena diam
dan merasa nyaman ketika terjadinya keburukan mengindikasikan kita juga
melakukan keburukan yang sama.
Perintah untuk Bertindak
Rosulullah bersabda:
مَن رَأىٰ منكم منكرًا فليغيّرْه بيدِه، فإن لم
يستطع فبلسانِه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذٰلك أضعف الإيمان
“siapapun diantara kalian yang melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak bisa maka dengan lisannya (ucapannya), jika tidak bisa maka denagn hatinya, yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Sebenarnya dalam hadits diatas ada tiga cara dalam mencegah
kemungkaran dan merubahnya. Dari tiga cara tersebut kita bisa memelih salah
satu cara yang kita anggap paling efektif.
Jika kita bisa merubah dengan ucapan lisan, kenapa harus dengan kekerasan. Akan tetapi jika
dengan ucapan tidak efektif, maka bisa dirubah denagn tangan.
Penginkaran dengan hati adalah cara yang paling mudah ketika tidak
mampu dengan lisan dan tangan. Dan ini bagian dari tingkatan iman yang paling
lemah.
Jika pengingkaran dengan hati disebut sebagai tingkatan iman yang
paling rendah, lantas bagaimana dengan hati yang yang tidak tergugah sama sekali
dengan keburukan yang terjadi atau bahkan malah merasa nyaman-nyaman saja.?
Mendiamkan keburukan berati siap mendapatkan malapetaka
yang lebih besar
Allah berfirman:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ
خَاصَّةً
“peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus
menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu”. (QS. Al-Anfal: 25)
Dalam sebuah hadits juga Rasulullah membuat gambaran yang sangat jelas tentang sikap diam ketika
melihat keburukan. Akibat yang ditimbulkan ketika mendiamkan keburukan terjadi
bisa berimbas kepada semua orang, bukan hanya pelaku keburukan itu sendiri.
Rasulullah bersabda:
“Perumpamaan orang-orang yang melanggar larangan-larangan Allah
dan orang-orang yang menaatinya adalah ibarat satu kaum yang bersama-sama naik
ke sebuah bahtera. Sebagian mereka berada di atas dan sebagian lagi berada di
bawah (dek). Bila orang-orang yang berada di bagian bawah ingin mengambil air,
maka mereka harus melewati orang-orang yang berada di atasnya. Lalu orang-orang
yang berada di bagian bawah mengatakan,”Kita lubangi saja lambung kapal ini
agar kita memperoleh air tanpa harus menyusahkan orang-orang yang di atas
kita”. Jika mereka dibiarkan melakukan niat mereka, maka semua orang yang
berada di kapal tersebut pasti celaka. Tetapi jika mereka dicegah, maka
orang-orang itu bisa selamat dan selamat pula seluruh penumpang kapal itu!” (HR. Bukhari)
Allah SWT memuji orang yang mengajak kepada kebaikan dan
mencegak keburukan
Allah berfrman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya
mereka akan mendapat pahala), dan Sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah
lebih baik, kalau mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran: 110)
Dalam ayat diatas Allah memuji kita dengan sebutan “sebaik-baik
ummat” lantaran kita menegakkan tradisi mengajak kepada kebaikan dan mencegah
keburukan.
Sunggung indah pujian yang Allah berikan kepada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar