Beberapa hari yag lalu, saya dan beberapa teman di tongkrongan
berbincang ringan seputar realita pendidikan di negri kita tercinta, Indonesia.
Khususnya jenjang pendidikan wajib;
sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah keatas
(SMA). Dan yang tidak luput dari guyonan kami adalah lembaga pra
sekolah, taman kanak-kanak (TK).
Saya sendiri kuarng ngerti, apakah lelucon ini hanya
saya dan kawan-kawan yang merasakan atau ada dari pembaca juga yang merasakan.
Yang jelas, lelucon
ini saya rangkum dalam beberapa poin lucu.
1.
Taman Kanak-Kanak
(TK)
Dilihat dari namanya saja, kita akan menangkap satu
gambaran jika jenjang pendidikan pra
sekolah ini adalah tempat bermain. Tempat berkumpulnya anak-anak yang terkordinir. Ada pembimbing yang menemani
ketika bermain.
Materi yang ditawarkan pada jenjang ini lebih pada materi-materi
ringan non akademi. Tidak ada baca tulis dan berhitung. Yang ada hanya
bernyanyi, menghafal do’a- do’a harian, mewarnai dan bermain.
Diharapkan setelah selesai dari pendidikan ini anak mampu
bersosialisasi dan dan punya mental yang bagus (tidak mendiran). Tidak lebih
dari itu.
2.
Sekolah Dasar (SD)
Namanya juga sekolah dasar, maka disinilah anak akan memulai
mengenal baca tulis dan berhitung. Dari yang semula belum mengekenal huruf,
maka di sekolah dasar inilah anak didik belajar baca tulis dan berhitung.
Intinya , ini adalah sekolah untuk pemula yang benar-benar
belum mengenal baca tulis dan berhitung.
Lucunya:
Syarat untuk bisa diterima di sekolah dasar (SD)
calon siswa harus sudah bisa baca tulis dan hitung dasar dan berijazah TK.tidak
membawa dua syarat itu, maka calon siswa ditolak. Dan nyaris hampir setiap SD
menerapkan syarat ini.
Kok bisa gini?
Kembali ke taman kanak-kanak. Semula lembaga ini hanya
memberikan materi ringan yang dirangkum dalam metode bermain. Dan sekarang mau
tidak mau pembimbing TK harus memberikan
mateti baca tulis dan berhitung yang
seharusnya belum diberikan.
Akibatnya anak enggan ke sekolah
karena merasa berat menerima materi dan pembimbing juga marasa terbebani.
Guru SD kelas satu, semula
adalah pihak pertama yang memiliki tanggung jawab mengajarkan dasar baca tulis dan berhitung,
sekarang mereka berleha-leha meresa tugasnya telah selesai.
Jika begini kejadiannya,
lantas apa gunanya diadakan sekolah
dasar kelas satu?
Alasan pihak SD agar
peserta didik mengikuti materi dengan cepat.
Terlalu diada-adakan.
3.
Penulisan Angka Jenjang Yang Aneh Dari SD, SMP, SMA/ SMK
Beberapa tahun yang lalu kita mengenal kelas adalah kelas
satu, dua,........enam SD kemudian dilanjutkan dengan kelas satu, dua, tiga SMP
dan setelah itu kelas satu, dua, tiga SMA.
Lucunya:
Dan sekarang penyebutan itu diganti dengan istilah kelas satu,
dua, ...., enam SD kemudian tujuh, delapan, sembilan SMP Serta sepuluh, sebelas,
dua belas, SMA/ SMK.
Bingung bukan?
Jika memang mau di lanjutkan angka penyebutannya, kenapa
tidak disebut saja semua dengan sekolah
dasar satu sampai dua belas, tidak usah disebut SD,SMP, SMA.
Atau jika sudah dipetakan dengan sebutan SD, SMP, SMA kenapa
harus dilanjutkan angka masing-masing angka jenjang tersubut.
Pada prinsipnya, mau disebut dengan sebutan apa saja tidak
ada masalah. Tetapi ini menggambarkan betapa bingungnya pendidikan kita. Dilihat dari penyebutannya saja sudah terlihat
bingung. Belum lagi jika dilihat dari
sisi sistem dan kurikulumnya.
4.
Kurikulum Yang
Sering Berganti-Ganti
Waktu saya masih sekolah dulu (SD, SMP, SMA) buku
pelajaran yang sudah kita lewati bisa dimanfaatkan olah generasi dibawah kita. Dan
sebaliknya, kita pun bisa memanfaatkan buku-buku bekas generasi diatas kita.
Kalau mau dihitung secara finansial, hal ini sangat
hemat. Hemat dari pihak siswa juga hemat dari sisi pemerintah yang mengelurkan
anggaran untuk membeli buku.
Dan dari sistem pengajaran, guru pelajaran sangat
menguasai materi yang mereka pegang. Hal
ini karena guru pelajatran ini sudah
menguasai materi dan sistem pengajarannya
selama bertauhun- tahun lamanya.
Lucunya:
Kurikulum sekarang cenderung
mudah berganti-ganti, bahkan hampir setiap tahun berganti. Hal ini
menunjukkan bingungnya kurikulum serta ketidakefekifannya
dari berbagai sisi.
Tidak efektif dari sisi pengajaran. Karena hampir setiap
bergantinya kurikulum, guru pelajaran dituntut untuk menguasai sitem ajar pada kurikulum baru tersebut. Dan tidak jarang
para guru juga bingung.
Nah, jika guru yang
mengajar saja bingung, bagaimana dengan siswa yang diajar?
5.
Tolak Ukur Nilai
Kelulusan Pada Masing-Masing Jurusan Dan Model Sekolah
Saat ini pemerintah sedang gencar-gencarnya mempromosikan
sekolah setingkat SMA berbasis tenaga siap kerja atau sering disebut dengan
Sekolah Menegah Kejuruan (SMK). Sedangkan di dalam SMK itu sendiri terdapat
beberapa jurusan/ bidang. Biasanya jurusan ini disesuaikan dengan permintaan
pasar tenaga kerja tempat SMK itu berdiri.
Jika SMK itu terletah di daerah perkotaan, maka jurusan yang
ditawarkan pun sesuai dengan lapangan keja yang banyak terdapat dikota. Seperti;
komputer, perkantoran, akutansi dsb.
Jika SMK teletak itu didaerah pantai dan perdesaan,maka
jurusan yang ditawarkan seperti
pertanian, pemasaran, mesin dsb.
Dan tidak jarang para siswa SMK itu benar-benar menguasai
jurusan yang mereka ambil. Bahkan dari mereka bisa membuat terobosan-terobosan
baru pada bidang yang mereka geluti.
Luar biasa.
Lucunya:
Lagi-lagi, siswa yang kita
anggap hebat pada bidangnya ternyata dinyatakan tidak lulus oleh pihak sekolah.
Alasannya mudah, karena dia gagal mendapatkan nilai standar pelajaran Bahasa Inggris.
Dalam kasus yang lain, siswa pintar mesin tetapi tidak bisa memenuhi target
nilai Bahasa Indonesia.
Seandainya siswa jurusan
mesin tidak diluluskan pada mata pelajaran mesin, ini sangat wajar. Atau anak
Akuntansi tidak lulus karena nilai ekonominya tidak mencapai target, ini wajar.
Karena memang dia tidak bisa memenuhi nilai setandar pada mata pelajaran inti jurusannya.
Sekali lagi inilah sistem
pendidikan yang bingung.(menurut saya)
Kemudian apa gunannya membuat
jurusan yang berbeda-beda jika standar kelulusan ditentukan oleh Matematika,
Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.? Padahal masing-masing jurusan memiliki
mata pelajaran inti.
Aneh bukan?!
Ya itulah beberapa gambaran
pendidikan di negri kita Indonesia yang sempat kita bahas di tempat nongkrong bersama
teman-teman.
Semoga kedepannya sistem
pendidikan kita gak bingung lagi. Karena baik dan buruknya sistem
pendidikan berpengaruh juga pada kualitas pendidikan itu sendiri.
Oleh: Ahmad Hilmi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar