Pages

Rabu, 07 Mei 2014

Remaja Harus Melek Fiqih

Ketika disebut kata “fiqih”, seringkali bayangan kita sebagai orang awam, terlebih remaja, dihadapkan pada suasana klasik, kuno dan jauh dari modernitas. Jadi, seakan orang yang mau mempelajari fiqih hanyalah mereka yang sudah masuk usia lanjut serta mempunyai kepentingan di bidang agama, seperti pendakwah dan guru.

Memang, fiqih merupakan warisan keilmuan klasik yang ada sejak lama. Toh seperti itu, bukan berarti ia bisa disebut sebagai ilmu yang termakan oleh peradaban modern. Bahkan, dimana pun dan kapan pun, fiqih akan selalu dibutuhkan oleh semua generasi umur manusia, terlebih remaja.


Remaja, menurut Wikipedia, adalah suatu periode transisi dari masa awal anak anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira-kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 tahun hingga 22 tahun.

Kalau boleh jujur, sebenarnya di awal usia remaja inilah ilmu fiqih mulai benar-benar dibutuhkan. Karena, biasanya usia 10 tahun anak manusia memasuki usia aqil baligh, baik dengan tanda mimpi basah maupun haid bagi remaja putri. Usia dimana beban agama mulai diberlakukan secara utuh. Baik beban agama yang berupa perintah untuk dilaksanakan, maupun beban larangan untuk dijauhi.

Bagaimana usia remaja akan dilewati dengan sempurna jika beban agama saja tidak terlaksana dengan baik. Bagaimana beban agama akan terlaksana dengan baik, jika panduannya saja tidak dimengerti. Dan pada poin inilah penulis simpulkan bahwa “remaja butuh fiqih”.

Berkenaan dengan fiqih remaja, ada beberapa pihak yang mempunyai tanggung jawab terhadap hal ini.

1. Remaja itu sendiri
Karena beban agama merupakan tanggung jawab masing-masing remaja, maka seharusnya ada kesadaran diri mereka untuk belajar fiqih. Ketika mengalami mimpi basah, apa yang seharusnya dilakukan, ketika datang haid, bagi remaja putri, ibadah apa saja yang harus ditinggalkan dan yang boleh dilakukan. Ini contoh kecil permasalahan fiqih remaja yang seringkali terabaikan.


Contoh itu sengaja penulis angkat, karena banyak remaja yang hanya bisa bingung ketika berhadapan dengan kasus seperti itu. Akhirnya, dia bertindak sesua dengan filling-nya tanpa tahu hukum fiqih yang sebenarnya.

2. Orang tua
Beliau adalah pihak yang paling bertanggung atas usia remaja putra-putrinya. Baik dan buruknya pemahaman fiqih remaja tergantung perhatian orang tua. Jika memang orang tua tidak mampu mengajarkan secara langsung, setidaknya mereka bisa mengarahkan kemana seharusnya para remajanya belajar.


Ini yang sangat disayangkan, para orang tua hanya merasa gelisah jika anaknya tidak bisa menguasai Matematika, dan Bahasa Inggris. Tapi, mereka tidak gelisah kala anaknya tidak memahami agama dengan benar. Untuk biaya bimbel Matematika dan Bahasa Inggris mereka rela menggelontorkan Rupiah yang sangat besar, tapi sangateman-eman kalau mengeluarkan uang untuk belajar agama.

Orang tua punya peran besar dalam memahamkan agama kepada anak-anaknya.

***
Setelah kita memahami pentingnya fiqih dalam aktivitas kita, maka tidak ada lagi alasan bagi remaja untuk tidak ngaji fiqih, terlebih pada masalah-masalah yang menyangkut rutinitas mereka. Haid, janabah, mahram, pakaian merupakan persoalan fiqih yang perlu mendapat perhatian khusus dari remaja.

Sekarang saatnya, kalian yang remaja merapat pada kelompok atau forum kajian fiqih atau juga berburu buku-buku fiqih yang bisa kalian jadiakan referensi pengetahuan.

Oleh: Ahmad Hilmi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About