Pages

Rabu, 21 Mei 2014

Mengapa Harus Fiqih Perbandingan?

Sering kali kita mendengar pertanyaan dalam menyikapi perbedaan bentuk ibadah, "kenapa fiqih ibadah itu tidah satu saja, agar tidak terjadi kebingungan di tengah ummat?". Atau dalam bahasa yang lain, "hampir setiap ormas Islam atau jama'ah Islam sudah memiliki cara ibadah menurut madzhab yang diikutinya. Lantas, untuk apa lagi harus belajar fiqih perbandingan?"

Kenapa tidak belajar satu madzhab saja?
Sebagai orang awam, yang paling mudah kita lakukan, kita hanya belajar satu madzhab dan kemudian kita jadikan sebagai panduan ibadah kita. Sebenarnya itu sudah cukup dan tidak perlu lagi belajar perbandingan madzhab.
Tapi..


Ternyata, tidak semua orang awam merasa cukup dengan pengetahuan satu mazhab yang diikutinya. Ini disebabkan oleh sikap kritis yang timbul akibat adanya perbedaan. "Mengapa saya melakukan ibadah dengan cara ini, sedangkan orang lain melakukan dengan cara yang berbeda?".
Mereka bukan sekedar ingin tahu tentang benar dan salah atau kuat dan lemahnya argumen masing-masing pendapat, tapi lebih ingin tahu mana perbedaan yang bisa dimaklumi dan yang tidak bisa dimaklumi.

Sebagaimana kita lihat, bahwa tidak semua perbedaan fiqih dapat dimaklumi, bahkan terkesan nyleneh. Contohnya, ada ajaran sholat jamaah pria & wanita, tapi dengan menunjuk seorang wanita sebagai imam. Atau, kasus lain, sholat dengan bahasa masing-masing daerah dan negara.

Jelas, perbedaan semacam ini tidak bisa dimaklumi dan ditolerir. Tapi, kita tidak akan tahu dan mengerti ke-nylenehan ini jika tidak merujuk pendapat para imam madzhab.

Mengapa harus kembali kepada pendapat madzhab?
Sebenarnya, tidak ada satu pun pesan yang mengajak ummat Islam harus ber-madzhab (mengikuti satu atau lebih madzhab yang diakui). Karena madzhab sendiri merupakan produk dari pemikiran manusia yang dijadikan metode untuk memahami sumber syariat. Namanya juga hasil pemikiran manusia, mungkin betul dan mungkin salah.

Walaupun tidak 100% benar, tapi mengikuti madzhab jauh lebih aman dan nyaman dibandingkan mengikuti pendapat sendiri. Kok bisa? ya iya Lha. Lha, ulama madzhab berpendapat dengan ilmu. Sedangkan kita, tidak berilmu yang cukup tapi berani berpendapat. Ulama madzhab masuk katagori mujtahidz dengan segala syaranya. Sedangkan kita, tak ada kepantasan sama sekali untuk disebut mujtahid.
Menang, ada sebuah ayat yang menyeru kita untuk kembali pada Alquran dan Assunah di tengah banyaknya perbedaan. Ayatnya 'cetho', gamblang dan jelas. Tapi masalahnya, kembali kepada Alquran & Assunah menurut pemahaman siapa? Apakah kita mampu memahami keduanya dengan segala keterbatasan modal keilmuan kita.
Jika kita memaksakan diri memahami Alquran & Assunah sesuai versi kita, maka kondisi yang kita dapati justru lebih mengenaskan dan menyakitkan dibandingkan jika kita mau memakai pemahaman para ulama terdahulu.

Jika harus bermadzhab, madzhab apa/siapa yang paling benar?
Dalam perbedaan pendapat, pasti ada pendapat yang paling benar sementara yang lain kurang benar atau bahkan salah. Kebenaran tunggal itu ada. Tapi, itu benar, kurang benar, dan salah menurut penilaian siapa?

Jika masih dipertanyakan menurut 'siapa', berarti penilaian itu nisbie (relativ). Pendapat itu kuat menurut saya, belum tentu kuat menurut orang lain. Kenyataan ini yang tidak memungkinkan kita untuk mengklaim bahwa kita yang paling benar, dan yang lain salah.

Jadi, dalam hal ini, kita sebagai muqollid, boleh memilih satu pendapat madzhab. Tidak perlu lagi mempertanyakan mana kuat mana lemah, sejauh perbedaan pendapat itu masih bisa di-rujuk pada ulama madzhab yang diakui. Karena ulama madzhab berpendapat dalam koridor Alquran & Assunah.

Tidak ada salahnya kita memegang satu pendapat fiqih sebagai bahan acuan dan pedoman beribadah, tapi memahami perbedaan jauh lebih penting. Karena, 'ngaji' fiqih berbandingan madzhab bukan sekedar tahu lemah dan kuatnya argumen, tapi lebih pada pengetahuan mana pendapat yang aneh 'nyeleh' penuh kontroversi dan mana pendapat yang bisa dimaklumi dibangun di atas pondasi.
Mari kita 'nagji' perbandingan madzhab dan menikmati sensasinya.


Oleh: Ahmad Hilmi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About