Pages

Senin, 18 November 2013

Sumpah, Gue Galau

Sejauh ini, saya mendengar kata galau hanya dari remaja-remaja yang baru menginjak usia puber, ABG, anak baru gede. Tema galau yang sering mewarnai kehidupan merekapun tidak jauh-jauh dari urusan pacar dan teman dekat atau juga masalah fashion dan penampilan. Belum punya pacar, galau. Putus hubungan pacaran, galau. Wajah berjerawat, galau. Dalam kondisi seperti ini, biasanya aktifitas harian jadi gak karuan, makan tak enak, tidur tak nyenyak, hanya buang (maaf) hanyak yang banyak.

Sebenarnya apa sih makna galau sendiri jika dilihat di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)?
Galau : ga·lau a, ber·ga·lau a sibuk beramai-ramai; ramai sekali; kacau tidak keruan (pikiran); 
ke·ga·lau·an n sifat (keadaan hal) .

Jika kita perjelas, maka akan kita dapatkan arti galau seperti ini: kodisi di mana keadaan pikiran sedang kacau tidak karuan yang disebabkan oleh banyak hal. Jadi bukan hanya satu persoalan, tapi berbagai persoalan beramai-ramai mengisi pikiran kita.


Ketika belum mengerti dan memahami istilah galau, saya sering menertawakan orang-orang yang menggunakan kata ini untuk menggambarkan keadaan hati dan pikirannyanya. Kenapa? Karena gambaran galau yang saa fahami salami ini hanya berlaku bagi anak baru gede saja. “Ah, kayak ABG aja, pake’ galau segala.” Kira-kira seperti itu komentar saya.

Suatu  ketika, saya memaca status Mario Teguh di fenpej pesbuknya  yang mengatakan, “galau itu wajar dan normal.” Artinya jika kita masih menjadi manusia normal, maka pasti kita akan mengalami kondisi galau. Karena orang yang akalnya tidak lagi waras, dia tidak akan galau. Maka galau merupakan pertanda kita masih sehat, karena masih mau berfikir dan mencari solusi yang sedang kita hadapi.

Anggapan saya yang mengatakan perasaan galau hanya untuk ABG ternyata kurang tepat. Karena pada dasarnya, manusia dari masa ke masa, di setiap fase kehidupannya selalu mengalami kondisi galau. Tentu galau yang sesuai dengan usia dan kedewasaanya.ini galau yang normal. Karena ada juga galau yang tidak normal, anak usia sekolah dasar yang punya keinginan nikah, atau seorang bapak yang galau karena pengen pacaran layaknya anak remaja, dan lain sebagainya.

Dari sinilah, kemudian saya berpikir ulang. Oh, ternyata selama ini saya juga sering mengalami kondisi galau. Hanya saja istilahnya yang sedikit berbeda. Jika remaja saya pakai istilah galau, maka semakin dewasa saya gunakan kata masalah dan problem. Walaupun semuanya menggambarkan kondisi pikiran yang sangat bigung dan kacau. Jika saya urutkan kondisi galau yang pernah saya alami, maka akan terlihat seperti ini:


1.       Masa Remaja
Sama seperti remaja pada umumnya, saya pun pernah galau dalam urusan pacaran, cinta monyet, cinta-cintaan yang gak jelas arahnya. Lebih galau lagi ketika ada larangan dari pihak pesantern untuk pacaran. Wah, benar-benar merepotkan. Padahal, model pacaran saya ketika itu cuma surat-suratan tanpa ketemuan, apalagi jalan bareng. Maklum, belum jaman hape ataupun smartphone seperti sekarang. Modalnya hanya kebetan buku tulis, kertas tengah pada buku tulis yang ada steplesnya. Ya, kalau kebetannya habis maka sasarannya adalah buku tulis temen yang masih ada kertas tengah yang masih kosong. Hehe

Galau pada sesi ini saya lewati dengan sempurna.  Maksudnya, sempurna penderitaannya, buku tulis sering habis untuk surat-suratan, dipanggil bagian kesiswaan karena surat cintanya ketangkap, dan parahnya lagi sampai diancam dikelaurkan dari pesantren. Dan Alhamdulillah, ancaman dikeluarkan benar-benar terlaksana. Sempurna bukan?


2.       Lulus SMA
Ternyata, setelah saya dinyatakan lulus dari SMA, saya kembakli galau. Galau kali ini sedikit dewasa dan serius, tidak lagi masalah pacaran dan cinta monyet. Saya ingin sekali meneruskan ke jenjang perguruan tinggi perguruan tinggi seperti layaknya  anak yang lulusan SMAyang lain. Ya, setidaknya bisa ngrasain jadi anak kuliahan.


Saya tahu betul kondisi keuangan orang tua pada saat itu, sangat minim untuk dikatakan sejahtera secara finanisal. Saya tidak menyalahkan kondisi finansial yang seperti itu, tapi cukuplah untuk menambah perasaan galau di hati.


Alhamdulullah, kodisi sempit finansial orang tua tidak lantas membuat sempit  hati dan kasih sayang mereka kepada saya. Bahkan bisa dikatakan, hati mereka sangat luas yang tak terukur oleh materi apapun. “bapak ibuk gak bisa nguliahin kamu, bapak ibuk gak punya sangu. Tapi kamu harus tetap kuliah, biar jadi anak pinter.” Kira-kira itu kalimat yang kelaur dari lisan mereka ketika saya sampaikan keinginan saya untuk kuliah. “bapak ibuk Cuma bisa nyangoni dongo (bekal do’a).”  Alhamdulillah masih ada bekal doa dan harapan dari mereka.

Benar saja, do’a mereka didengar langsung oleh Allah SWT dan mungkin saja diamini oleh semua makhluk yang mendengar doa itu. Ya, saya diterima sebagai  mahasiswa salah satu perguruan tinggi. Diterima bukan dengan modal materi, tapi do’a dan harapan. Bukan main-main, dua jenjang perkuliahan saya jalani dengan geratis selama tujuh tahun, tiga tahun pertama setingkat D3, dan empat tahun jenjang S1. Pada saat itu saya baru bisa merasakan dan meyakini adanya kekuatan do’a yang begitu luarbiasa.
Sekali lagi, galau pada fase ini terobati, Alhamdulullah.


3.       Masa Dikontrakan Selama Kuliah
Bagi kita yang pernah merasakan kehidupan dikos dan kontrakan, pasti pernah merasakan pahit manisnya kehidupan. Mulai dari persoalan uang kos sampai uang makan. Merasakan makan sehari sekali sampai jalan kaki ketika berangkat/pulang kuliah, ditambah lagi ketika akhir bulan, gak berani keluar kos karena telat bayar. Lebih terasa lagi jika kita bukan anak mami dan anak papi, lha wong punyanya si mbok dan bapake. Semua kebutukan harus bisa kita dapatkan sendiri, tentu dari hasil yang halal. Dari jualan asongan perabotan rumah tangga, kuli bangunan, sampai yang agak keren ngajar privat alias guru panggilan. Nah, kalau yang terakhir ini, guru privat, bisa dilakukan ketika sudah masuk semester tinggi. Kalah saing sama senior. hehe

Lagi-lagi, semua ini bikin galau. Dunia terasa sempit, waktu berputar tersa terlalu lambat. Lengkap sudah penderitaan ini.

Tidak ada kalimat yang pantas kita ucapkan kecuali ucapan syukur, Alhamdulillah, saya melewati keadaan ini dengan baik. Baik sekali. Hanya satu kuncinya, jangan malu untuk mengakui kalau perut kita lapar. Tentu bukan dengan menjadi pengemis jalanan, tapi terus berusaha dengan tangan sendiri dengan sedikit mebuang rasa gengsi. Ya, boleh dung sekali-kali muka kita disimpin di lemari dulu untuk mengusir gengsi.


4.       Masa-Masa Terakhir di Bangku Kuliah
Pernah bangga merasakan jadi anak kuliahan, walaupun dari bantuan orang lain, alias beasiswa, tapi setidaknya saya bisa kuliah. Tapi rasa bangga itu mulai redup dan surut ketika masa kuliah ini memasuki detik-detik terakhir. Ya, nama pemberian orang tua yang selama ini saya gunakan sebentar lagi akan disematkan di belakangnya embel-embel sarjana. Gelar sarjana yang kebanyakan orang bangga dengannya,  justru bikin saya galau. Galau jika gelar itu harus  saya hancurkan dan musnahkan dengan hilangnya idealisme.


Idealisme yang saya maksud di sini ialah seorang sarjana kedokteran yang bicara masalah kedokteran, bukan masalah ekonomi. Karena jika seorang dokter bicara masalah ekonomi, maka dia akan menyunat setiap dana yang mengalir lewat kantongnya. Begitupun dengan  seorang sarjana ekonomi, seharusnya dia hanya bicara masalah ekomomi, bukan malah berprofesi layaknya dokter yang membuka malpraktik.


Carut-marutnya negara kita ini, Indonesia, salah satu penyebabnya ialah hilangnya idealisme seperti yang saya maksud. Berapa banyak orang yang tidak faham mengaku faham. Berapa banyak orang bodoh yang mengaku sebagai ahli. Dan yang lebih menyedihkan lagi, ketika pengakuan mereka itu dilandasi kesombongan. Negara ini benar-benar hancur karena dikendalikan bukan oleh ahlinya. Sudahlah, biarkan saja, ini hanya galau yang tak beralasan. Biarkan orang berekspresi menurut selera perutnya masing-masing.

5.       Berumah Tangga
Sengaja fase ini saya akhirkan, karena biasanya agak tabu dibicarakan pada saat kuliah. Tapi ini berbeda. Saya mulai berumah tangga ketika gelar sarjana belum saya pikul, bahkan  saya baru lulus D3 dan akan melanjutkan jenjang S1.  Sangat berbeda bukan?


Lagi-lagi, saya mengalami perasaan galau yang luar biasa. Bahkan galau kali ini sempat menular kepada orang tua saya. Bagaimana tidak, cita-cita bisa mengambil S1 terbayang akan pupus dengan penikahan.

“walaupun saya sudah menikah, saya akan tetap kuliah pak, buk. Do’kan saja saya bisa melewati ini dengan baik.” Permohonan saya kala itu, hanya do’a restu dari keduanya. Walaupun sempat galau, tapi bapak ibuk tetap yakin mendo’akan saya, meridhoi langkah yang saya pilih. Sekali lagi, ini modal besar bagi saya.


Karena menurut hemat saya, dari pada hanya mikirin anak orang yang selalu bikin saya galau dan mungkin berdosa juga, akan lebih baik jika saya memikirkannya tapi dengan mendapat pahala, yaitu dengan menikahinya. Konyol memang, tapi itu pilihan.


Biarlah orang yang tidak setuju dengan langkah saya menggonggong sesukannya, yang penting saya gak ganggu kenyamanan mereka. Toh saya menikah juga gak ngrepotin mereka. Saya membiayai kehidupan rumah tangga saya juga dengan tangan saya sendiri. Lama-lama juga mereka capek sendiri. Dan subhanallah, semua terlaksana sangat lancar. Sebagian besar kebutuhan bisa terpenuhi, walapun tidak semuanya. Bahkan biaya kuliah istri bisa kita usahakan sendiri sampai mendapat gelar sarjana.



Setelah lebih kurang satu  tahun, hadir juga momongan yang cantik di tengah kehidupan kita. Tidak ada masalah. Layaknya orang tua yang bisa membelikan kebutuhan anak, membelikan mainan, dan segala kebutuhannya, saya bisa memenuhinya. Walaupun  dengan perasaan galau di tengah status yang berlipat dalam satu waktu; mahasiswa, suami, dan juga ayah.



Galau  kali ini saya lewati dengan senyuman, karena ada penghibur kala saya bingung, ada pelipur ketika harus sedih. Galau yang penuh senyum. Indah kan? Selain kedua orang tua, ada anak dan istri yang selalu mendo’akan dan menyemangati. Semakin banyak yang mendo’akan dan mendukung, saya yakin pasti akan lebih baik.



6.       Dunia Kerja
Ini yang belum saya lewati dengan sempurna. Dan pastinya galaunya belum akan sembuh jika fasenya belum saya lalui. Jujur saja, saya belum masuk secara utuh dalam fase ini. Walaupun selama ini saya sudah sering mencari nafkah, tapi belum totalitas. Ya, karena saya masih dituntut untuk menyelesaikan kuliah. Seperti yang saya katakana tadi, satu waktu saya harus berperan dalam tiga penampakan, mahasiswa dengan buku kuliah, sebagai suami dan ayah dengan pekerjaan sampingan.


Semoga dalam fase ini saya bisa melewatinya dengan baik seperti fase-fase sebelumnya.

Sebagai seorang muslim, tentu ada ada cara sendiri untuk mengobati galau yang sedang kita lewati.

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du: 28)

Mengingat Allah dengan membaca kebesarannya, dengan mendadaburi ayat-ayatnya, ayat quraniyah dengan dan ayat kauniyah. Terus berdo’a dan berusaha adalah hakikat Dzikrullah yang sebenarnya. Dengan dzikir seperti ini, galau yang kita lalui akan terobati semuanya dan aka nada solusi yang kita harapkan.

Wallahu a’lam bisshawab

Oleh: Ahmad Hilmi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About