Sebenarnya apa
sih makna galau sendiri jika dilihat di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)?
Galau : ga·lau a, ber·ga·lau a sibuk beramai-ramai; ramai
sekali; kacau tidak keruan (pikiran);
ke·ga·lau·an n sifat (keadaan hal) .
ke·ga·lau·an n sifat (keadaan hal) .
Jika kita
perjelas, maka akan kita dapatkan arti galau seperti ini: kodisi di mana keadaan
pikiran sedang kacau tidak karuan yang disebabkan oleh banyak hal. Jadi bukan
hanya satu persoalan, tapi berbagai persoalan beramai-ramai mengisi pikiran
kita.
Ketika belum
mengerti dan memahami istilah galau, saya sering menertawakan orang-orang yang menggunakan
kata ini untuk menggambarkan keadaan hati dan pikirannyanya. Kenapa? Karena gambaran
galau yang saa fahami salami ini hanya berlaku bagi anak baru gede saja. “Ah,
kayak ABG aja, pake’ galau segala.” Kira-kira seperti itu komentar saya.
Suatu ketika, saya memaca status Mario Teguh di fenpej
pesbuknya yang mengatakan, “galau
itu wajar dan normal.” Artinya jika kita masih menjadi manusia normal, maka
pasti kita akan mengalami kondisi galau. Karena orang yang akalnya tidak lagi
waras, dia tidak akan galau. Maka galau merupakan pertanda kita masih sehat,
karena masih mau berfikir dan mencari solusi yang sedang kita hadapi.
Anggapan saya
yang mengatakan perasaan galau hanya untuk ABG ternyata kurang tepat. Karena pada
dasarnya, manusia dari masa ke masa, di setiap fase kehidupannya selalu
mengalami kondisi galau. Tentu galau yang sesuai dengan usia dan
kedewasaanya.ini galau yang normal. Karena ada juga galau yang tidak normal,
anak usia sekolah dasar yang punya keinginan nikah, atau seorang bapak yang
galau karena pengen pacaran layaknya anak remaja, dan lain sebagainya.
Dari sinilah,
kemudian saya berpikir ulang. Oh, ternyata selama ini saya juga sering
mengalami kondisi galau. Hanya saja istilahnya yang sedikit berbeda. Jika remaja
saya pakai istilah galau, maka semakin dewasa saya gunakan kata masalah dan
problem. Walaupun semuanya menggambarkan kondisi pikiran yang sangat bigung dan
kacau. Jika saya urutkan kondisi galau yang pernah saya alami, maka akan
terlihat seperti ini:
1.
Masa Remaja
Sama seperti
remaja pada umumnya, saya pun pernah galau dalam urusan pacaran, cinta monyet,
cinta-cintaan yang gak jelas arahnya. Lebih galau lagi ketika ada larangan dari
pihak pesantern untuk pacaran. Wah, benar-benar merepotkan. Padahal, model
pacaran saya ketika itu cuma surat-suratan tanpa ketemuan, apalagi jalan
bareng. Maklum, belum jaman hape ataupun smartphone seperti sekarang. Modalnya hanya
kebetan buku tulis, kertas tengah pada buku tulis yang ada steplesnya. Ya,
kalau kebetannya habis maka sasarannya adalah buku tulis temen yang masih ada
kertas tengah yang masih kosong. Hehe
Galau pada sesi ini
saya lewati dengan sempurna. Maksudnya, sempurna
penderitaannya, buku tulis sering habis untuk surat-suratan, dipanggil bagian
kesiswaan karena surat cintanya ketangkap, dan parahnya lagi sampai diancam
dikelaurkan dari pesantren. Dan Alhamdulillah, ancaman dikeluarkan benar-benar
terlaksana. Sempurna bukan?
2.
Lulus SMA
Ternyata,
setelah saya dinyatakan lulus dari SMA, saya kembakli galau. Galau kali ini
sedikit dewasa dan serius, tidak lagi masalah pacaran dan cinta monyet. Saya
ingin sekali meneruskan ke jenjang perguruan tinggi perguruan tinggi seperti
layaknya anak yang lulusan SMAyang lain.
Ya, setidaknya bisa ngrasain jadi anak kuliahan.
Saya tahu betul
kondisi keuangan orang tua pada saat itu, sangat minim untuk dikatakan
sejahtera secara finanisal. Saya tidak menyalahkan kondisi finansial yang
seperti itu, tapi cukuplah untuk menambah perasaan galau di hati.
Alhamdulullah,
kodisi sempit finansial orang tua tidak lantas membuat sempit hati dan kasih sayang mereka kepada saya. Bahkan
bisa dikatakan, hati mereka sangat luas yang tak terukur oleh materi apapun. “bapak
ibuk gak bisa nguliahin kamu, bapak ibuk gak punya sangu. Tapi kamu
harus tetap kuliah, biar jadi anak pinter.” Kira-kira itu kalimat yang kelaur
dari lisan mereka ketika saya sampaikan keinginan saya untuk kuliah. “bapak
ibuk Cuma bisa nyangoni dongo (bekal do’a).” Alhamdulillah masih ada bekal doa dan harapan
dari mereka.
Benar saja, do’a
mereka didengar langsung oleh Allah SWT dan mungkin saja diamini oleh semua
makhluk yang mendengar doa itu. Ya, saya diterima sebagai mahasiswa salah satu perguruan tinggi. Diterima
bukan dengan modal materi, tapi do’a dan harapan. Bukan main-main, dua jenjang
perkuliahan saya jalani dengan geratis selama tujuh tahun, tiga tahun pertama
setingkat D3, dan empat tahun jenjang S1. Pada saat itu saya baru bisa
merasakan dan meyakini adanya kekuatan do’a yang begitu luarbiasa.
Sekali lagi,
galau pada fase ini terobati, Alhamdulullah.
3.
Masa Dikontrakan
Selama Kuliah
Bagi kita yang
pernah merasakan kehidupan dikos dan kontrakan, pasti pernah merasakan pahit
manisnya kehidupan. Mulai dari persoalan uang kos sampai uang makan. Merasakan makan
sehari sekali sampai jalan kaki ketika berangkat/pulang kuliah, ditambah lagi ketika
akhir bulan, gak berani keluar kos karena telat bayar. Lebih terasa lagi jika
kita bukan anak mami dan anak papi, lha wong punyanya si mbok dan bapake.
Semua kebutukan harus bisa kita dapatkan sendiri, tentu dari hasil yang halal. Dari
jualan asongan perabotan rumah tangga, kuli bangunan, sampai yang agak keren
ngajar privat alias guru panggilan. Nah, kalau yang terakhir ini, guru privat,
bisa dilakukan ketika sudah masuk semester tinggi. Kalah saing sama senior.
hehe
Lagi-lagi, semua
ini bikin galau. Dunia terasa sempit, waktu berputar tersa terlalu lambat. Lengkap
sudah penderitaan ini.
Tidak ada
kalimat yang pantas kita ucapkan kecuali ucapan syukur, Alhamdulillah,
saya melewati keadaan ini dengan baik. Baik sekali. Hanya satu kuncinya, jangan
malu untuk mengakui kalau perut kita lapar. Tentu bukan dengan menjadi pengemis
jalanan, tapi terus berusaha dengan tangan sendiri dengan sedikit mebuang rasa
gengsi. Ya, boleh dung sekali-kali muka kita disimpin di lemari dulu untuk
mengusir gengsi.
4.
Masa-Masa Terakhir di
Bangku Kuliah
Pernah bangga
merasakan jadi anak kuliahan, walaupun dari bantuan orang lain, alias beasiswa,
tapi setidaknya saya bisa kuliah. Tapi rasa bangga itu mulai redup dan surut
ketika masa kuliah ini memasuki detik-detik terakhir. Ya, nama pemberian orang
tua yang selama ini saya gunakan sebentar lagi akan disematkan di belakangnya
embel-embel sarjana. Gelar sarjana yang kebanyakan orang bangga dengannya, justru bikin saya galau. Galau jika gelar itu
harus saya hancurkan dan musnahkan
dengan hilangnya idealisme.
Idealisme yang saya
maksud di sini ialah seorang sarjana kedokteran yang bicara masalah kedokteran,
bukan masalah ekonomi. Karena jika seorang dokter bicara masalah ekonomi, maka
dia akan menyunat setiap dana yang mengalir lewat kantongnya. Begitupun dengan seorang sarjana ekonomi, seharusnya dia hanya
bicara masalah ekomomi, bukan malah berprofesi layaknya dokter yang membuka
malpraktik.
Carut-marutnya negara
kita ini, Indonesia, salah satu penyebabnya ialah hilangnya idealisme seperti yang
saya maksud. Berapa banyak orang yang tidak faham mengaku faham. Berapa banyak
orang bodoh yang mengaku sebagai ahli. Dan yang lebih menyedihkan lagi, ketika
pengakuan mereka itu dilandasi kesombongan. Negara ini benar-benar hancur
karena dikendalikan bukan oleh ahlinya. Sudahlah, biarkan saja, ini hanya galau
yang tak beralasan. Biarkan orang berekspresi menurut selera perutnya
masing-masing.
5.
Berumah Tangga
Sengaja fase ini
saya akhirkan, karena biasanya agak tabu dibicarakan pada saat kuliah. Tapi ini
berbeda. Saya mulai berumah tangga ketika gelar sarjana belum saya pikul, bahkan
saya baru lulus D3 dan akan melanjutkan
jenjang S1. Sangat berbeda bukan?
Lagi-lagi, saya
mengalami perasaan galau yang luar biasa. Bahkan galau kali ini sempat menular
kepada orang tua saya. Bagaimana tidak, cita-cita bisa mengambil S1 terbayang akan
pupus dengan penikahan.
“walaupun saya
sudah menikah, saya akan tetap kuliah pak, buk. Do’kan saja saya bisa melewati
ini dengan baik.” Permohonan saya kala itu, hanya do’a restu dari keduanya. Walaupun
sempat galau, tapi bapak ibuk tetap yakin mendo’akan saya, meridhoi langkah
yang saya pilih. Sekali lagi, ini modal besar bagi saya.
Karena menurut hemat
saya, dari pada hanya mikirin anak orang yang selalu bikin saya galau
dan mungkin berdosa juga, akan lebih baik jika saya memikirkannya tapi dengan
mendapat pahala, yaitu dengan menikahinya. Konyol memang, tapi itu pilihan.
Biarlah orang
yang tidak setuju dengan langkah saya menggonggong sesukannya, yang penting
saya gak ganggu kenyamanan mereka. Toh saya menikah juga gak ngrepotin mereka.
Saya membiayai kehidupan rumah tangga saya juga dengan tangan saya sendiri. Lama-lama
juga mereka capek sendiri. Dan subhanallah, semua terlaksana sangat lancar. Sebagian
besar kebutuhan bisa terpenuhi, walapun tidak semuanya. Bahkan biaya kuliah
istri bisa kita usahakan sendiri sampai mendapat gelar sarjana.
Setelah lebih
kurang satu tahun, hadir juga momongan
yang cantik di tengah kehidupan kita. Tidak ada masalah. Layaknya orang tua yang
bisa membelikan kebutuhan anak, membelikan mainan, dan segala kebutuhannya,
saya bisa memenuhinya. Walaupun dengan
perasaan galau di tengah status yang berlipat dalam satu waktu; mahasiswa,
suami, dan juga ayah.
Galau kali ini saya lewati dengan senyuman, karena ada
penghibur kala saya bingung, ada pelipur ketika harus sedih. Galau yang penuh
senyum. Indah kan? Selain kedua orang tua, ada anak dan istri yang selalu mendo’akan
dan menyemangati. Semakin banyak yang mendo’akan dan mendukung, saya yakin pasti
akan lebih baik.
6.
Dunia Kerja
Ini yang belum
saya lewati dengan sempurna. Dan pastinya galaunya belum akan sembuh jika
fasenya belum saya lalui. Jujur saja, saya belum masuk secara utuh dalam fase
ini. Walaupun selama ini saya sudah sering mencari nafkah, tapi belum
totalitas. Ya, karena saya masih dituntut untuk menyelesaikan kuliah. Seperti yang
saya katakana tadi, satu waktu saya harus berperan dalam tiga penampakan,
mahasiswa dengan buku kuliah, sebagai suami dan ayah dengan pekerjaan
sampingan.
Semoga dalam
fase ini saya bisa melewatinya dengan baik seperti fase-fase sebelumnya.
Sebagai seorang
muslim, tentu ada ada cara sendiri untuk mengobati galau yang sedang kita
lewati.
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ
بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“orang-orang
yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah,
hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du: 28)
Mengingat Allah
dengan membaca kebesarannya, dengan mendadaburi ayat-ayatnya, ayat quraniyah
dengan dan ayat kauniyah. Terus berdo’a dan berusaha adalah hakikat Dzikrullah
yang sebenarnya. Dengan dzikir seperti ini, galau yang kita lalui akan terobati
semuanya dan aka nada solusi yang kita harapkan.
Wallahu a’lam
bisshawab
Oleh: Ahmad
Hilmi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar