"umi, abi,
adik Nada buat gambar sapi." Dia menunjukkan coretannya dikertas.
"ini
telingannya, ini kakinya, ........." penjelasannya kepada kami dari
coretan yang dia buat. Padahal kami tidak membayangkan sama sekali kalau itu
gambar seekor sapi. Dan masih banyak lagi coretan-coretan ringan yang dia buat
beserta penjelsaanya.
Yang kami keran,
anak sekecil itu sudah bisa menuangkan imajinasinya dalam goresan tinta, dan
dia faham betul maksud yang dia coretkan. Bukan coretan hampa tanpa makna.
Dan sekarang, di
usianya yang 3,1 tahun, gorenan penanya mulai bisa kami mengeri. seperti siang
tadi, ketika dia menggambar bentuk kepala manusia, dia menunjukkan gambar
tersebut kepada uminya. kita faham gambar tersebut tanpa meminta penjelasannya.
Memang masih
jauh dari kata sempurna untuk bisa dikatakan sebagai gambar. Tapi setidakknya
dia mampu menuangkan imajinasinnya dalam goresan pena yang bisa dimengerti.
Hargai Usaha
anak
Anak, terlebih
yang masih dalam masa pertumbuhan, sangat membutuhkan apresiasi. Apresiasi dalam
segala tindakan baiknya. Apalagi tindakan baik yang menurutnya dari hasil
perjuangan.
Barjalan satu
dua langkah adalah usaha besar menurutnya, kerena dia masih dalam proses belajar
jalan. Menggoreskan pena dalam beberapa coretan yang sepele adalah usaha besar
baginya, karena dia baru saja mengenal alat tulis.
Acungan jempol
tangan dari orang di sekelilingnya menjadi begitu bemakna di matanya sebagai simbol
penghargaan. Acungan jempol yang tidak mahal, tapi punya arti yang dalam. Mudah
bukan menghargai usaha anak.
“subhanallah,
adik pinter banget ya, dah bisa gambar sapi.”
“ya Allah, bagus
sekali gambarnya.” Sebenarnya gambar itu sama sekali tidak bagus, tapi memujinya
jauh lebih baik dari pada sekedar mendiamkannya dalam kekecewaan. Kekecewaan yang
bisa membunuh imajinasinya.
Memuji bukan
berarti berbohong kosong, tidak bagus dbilang bagus. Tapi terus mendorong,
memotivasi dari usaha baik yang dia
lakukan.
Mudah Tapi
Susah
Mengacungkan jempol
dan melontarkan kata-kata pujian merupakan hal yang sangat mudah dilalukan. Terlebih
pujian orang tua kepada buah hatinya. Orang tua yang memahami arti penghargaan
atas usaha yang dilakukan anak.
Tapi kenyataanya,
tidak semua orang tua mudah mengapresiasi usaha anaknya. Walaupun dari hal
paling mudah dan murah, memuji dan mengacungkan jempol.
Orang tua
seperti ini biasanya hanya melihat hasilya, dan bukan usahanya.
“buk, pak,
nilai raportku ndak ada yang merah lho.”
”halah, nilai
enam semua gitu kok dipamerin ke bapak sama ibuk.” Bukan memuji, tapi
justru meremehkan.
“mbok ya
seperti mas-masmu dan mbak-mbakmu, bisa
dapet rengking satu.” Walah, sudah
tidak mau menghargai, ini malah membandingkan dengan orang lain. Mati sudah
harapan si anak untuk mendapatkan penghargaan dari orang tuanya.
Hal ini sangat
berbahaya sekali, karena tidak semua anak siap dengan sikap perbandingan
seperti ini. Bahkan ini bisa memupuskan mimpinya, menghancurkan usahan dan
perjuangannya.
Saya jadi
teringat dengan sebuah film kelaurga dari Singapura yang berjudul “I’m Not
Stupid”. Film yang menceritakan dua orang anak laki-laki (kakak dan adik) dalam
sebuah kelaurga. Keduanya pandai dan cerdas, juga punya perilaku yang baik dan
menyenagkan. Tapi berangsur-angsur
keduanya menjadi seperti dungu dan bodoh, juga nakal dan suka berulah. Berubah
drastis dari wajah asli mereka. Sebabnya sepele, kedua orang tua dan orang-orang
di sekeliling tidak pernah menghargai
usaha mereka, bahkan cenderung meremehkan.
Semoga
kedepannya kita, sebagai orang tua, mampu membantu mewujudkan mimpi anak-anak
kita dengan belajar menghargai usaha baik yang dia lakukannya. Jangan
terburu-buru melihat hasilnay, tapi lihat dulu jerih payah usahanya. Hidupkan dulu
jiwanya, baru kemudian tunggu nilainya.
Wallahu a’lam
Oleh: Ahmad
Hilmi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar