Pages

Kamis, 31 Oktober 2013

-BAHAYA MALPRAKTIK DALAM HUKUM FIQIH-

Sering kita mendengar istilah "malparktik" dalam dunia kedokteran dan medis. Malpraktik yang kurang lebih bermakna penyelahgunaan profesi yang tidak sesuai standart prosedur kedokteran.
Nah, malpraktik seperti ini biasa dipraktikkan oleh mereka yang tidak pernah "makan" bangku kuliah kedokteran, atau juga yang pernah kuliah tapi tidak selesai alias gak sampai lulus. Terus bagaimana mau disebut dokter kalau tidak mau ikut prosedur profesi kedokteran.
Akibatnya......?
Adakalanya praktik "ngawurnya" ini bisa menolonh orang (kebetulan). Tapi lebih sering bahayanya.
coba kita bayangkan, ada pasien terluka sedikit di kakinya (habis nginjek cangkang telor). Eh, oleh si dokter jadi-jadianan ini kaki si pasien malang ini langsung diamputasi. Alasan si dokter memang rada masuk akal , takut infeksi. Maka sebelum infeksinya menjalar sampai paru-paru, kaki pasien ini 'kudu" diamputasi.

Jika sudah seperti ini kasusnya, maka siapa yang dirugikan, pasien bukan?

**********


Bagaimana Dengan Malpraktik Dalam Dunia Fiqih Dan Fatwa??

Modus malpraktik dalam dunia fiqih sangat mirip sekali dengan malpraktik dalam dunia kedokteran. Akantetapi dampak buruknya lebih dahsayat. Kekacauan dalam masyarakat Islam akan terjadi.
Coba kita perhatikan oknum ustadz di sekeliling kita. Berapa banyak mereka yang berani berfatwa dan memutuskan hukum fiqih tapi tidak memiliki bekal kemampuan ilmu syariah yang memadai.


Jika ditilik dari riwayat pendidikannya, nyaris tak ada hubunganya dengan ilmu fiqih. Bahkan mengenal ilmu fiqihpun hanya dari mendengarkan pengajian yang dia datangi satu pekan sekali. Itupun pengajian dengan ustadz yang belajar agama otodidak.

jika kita runtutkan sanad ilmunya, maka akan kita temukakan rantainya seperti ini:
---> BARU belajar (baru hitungan bulan) ---> balajar hanya dari mendengarkan pengajian, ---> intensitas pengajiannya satu pekan sekali. --> Dan sialnya, pengajian yang ia datangi diasuh oleh ustadz yang belajar ilmu fiqihnya dengan cara otodidak ditemani buku-buku fikih terjemahan.

Pengetahuan fiqih yang ia pelajari adalah fiqih pratktis. Fiqih yang diperuntukkan bagi pemula dan bukan untuk ahli. Nyaris tidak ada contoh perbedaan dalam hukum. Jadi memang tanpa memahami apa itu perbandingan madzhab, tanpa ada sentuhan  ushul fiqih (sekalipun dasarnya), dan tidak memahami   ikhtilafaatul araak dalam dunia fiqih. Begitupun dengan dalil yang dia temukan, sangan simpel dan singkat.
Sebenarnya itu sudah lebih dari cukup jika digunakan sebagai bekal ibadah dan tuntunannya. Tapi sangat kurang jika diperuntukkan untuk berkoar-koar di ranah ikhtilafat mazdahib.


Bagaimana Seharusnya?  Dan siapa yang boleh bicara?

Siapa saja boleh bicara masalah fiqih. Ilmu fiqih bebas dibicarakan oleh semua orang. Tapi perlu diingat, ada aturan mainnya.
Karena berbicara masalah fiqih perlu modal yang cukup. Pengetahuan yang memadai dan tidak asal-asalan. Ilmu alat dalam ilmu fiqih harus benar-benar dikuasai: ushul fiqih, qowaid fiqhiyah, aro’ fuqaha (pendapat) beserta sebab yang memicu perbedaannya, dsb.
Jika syarat-syarat itu sudah terpenuhi, maka monggo (silahkan) kita bicara baren-bareng.

Jika Syarat-syarat Itu Tidak Terpenuhi??

Nah, dengan modal alakadarnya tersebut, si ustadz oknum ini mulai buka praktik sama seprti dokter. Bikin pengajian dan berfatwa..
Yang terjadi...???!!!!
1.       Berfatwa ngawur, dengan  dalil serampangan.
2.      Gumunan (kaget) ketika melihat yang berbeda. Karena yang dia pelajari adalah fiqih praktis.  
3.       Dia suka mengingatkan orang lain, tapi dengan label bid’ah dan sesat.
4.     Dan yang paling parah, semua orang di sekelilingnya dianggap sakit dan tanpa sadar jika yang sebenarnya sakit itu dia.

Mengerikan bukan?!


Contoh Nash Yang Difahami  Dengan Keliru

Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda:

إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران، وإذا حكم واجتهد ثم أخطأ فله أجرٌ

“Jika seorang hakim memutuskan hukum dan berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala. Jika dia salah dalam berijtihad, maka dia memperoleh satu pahala.”

Pemahman keliru:
Hadist ini difahami sebagai dalil satu kebenaran muthlaq dalam sebuah ijtihad dan menolak ikhtilaf. Artinya, dalam perbedaan pendapat ulama dalam suatu hukum, maka yang benar hanya satu dan yang lain salah dan tidak bisa ditolerir.

Koreksi:
Memang, kebenaran mutlaq itu ada, tapi itu hanya Allah SWT yang menghukumi dan bukan dalam ranah ijtihad. Karena jika seseorang berijtihad sesuai dengan aturan dan memenuhi syarat mujtahid, maka ijtihadnya bisa benar bisa juga salah.

Memperoleh satu pahala dalam berijtihat adalah suatu yang pasti (qoth’ie), tapi untuk mengklaim bahwa mujtahid tersebut memperoleh dua pahala adalah kemungkinan (dzannie).
Maka yang diajarkan oleh Al-imam Assyafi’i adalah: “pendapatku (madzhab) adalah benar, tapi kemungkinan mengandung kesalahan. Dan pendapat (madzhab) orang lain salah, tapi kemungkinan mengandung kebenaran.

Kalimat itu mengajarkan kepada kita bahwa kebenaran muthlaq hanya Allah yang akan menilai dan tidak ada satu mujtahidpun yang boleh mengklaimnya.  Tapi kebenaran dzannie bisa diklaim siapa saja.

Kesalahan dalam memahami hadits ini berakibat sangat buruk dalam dunia fiqih (ikhtilafnya). Karena masing-masing madzhab akan mengklaim bahwa diri mereklah yang paling benar. Akibat yang paling fatal adalah memaksakan satu pendapat kepada orang lain.

Dengan mendalami ilmu fiqih, sekalipun tidak sampai pada derajat mujtahit, tapi setidaknya kita bisa memahami pendapat orang lain. Semakin kita faham, maka semakin kita bijak. Semakin kita banyak belajar, maka semakin kita lebih berhati-hati dengan ucapan.

Tidak mengumbar kata bid’ah dan sesat dalam menyikapi perbedaan adalah nilai puncak dalam mempelajari fiqih.

Wallahu a’lam bisshawab

Oleh: Ahmad Hilmi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About