Sering kita
mendengar istilah "malparktik" dalam dunia kedokteran dan medis.
Malpraktik yang kurang lebih bermakna penyelahgunaan profesi yang tidak sesuai
standart prosedur kedokteran.
Nah, malpraktik
seperti ini biasa dipraktikkan oleh mereka yang tidak pernah "makan"
bangku kuliah kedokteran, atau juga yang pernah kuliah tapi tidak selesai alias
gak sampai lulus. Terus bagaimana mau disebut dokter kalau tidak mau ikut
prosedur profesi kedokteran.
Akibatnya......?
Adakalanya
praktik "ngawurnya" ini bisa menolonh orang (kebetulan). Tapi lebih
sering bahayanya.
coba kita
bayangkan, ada pasien terluka sedikit di kakinya (habis nginjek cangkang telor).
Eh, oleh si dokter jadi-jadianan ini kaki si pasien malang ini langsung diamputasi.
Alasan si dokter memang rada masuk akal , takut infeksi. Maka sebelum
infeksinya menjalar sampai paru-paru, kaki pasien ini 'kudu" diamputasi.
Jika sudah
seperti ini kasusnya, maka siapa yang dirugikan, pasien bukan?
**********
Bagaimana Dengan Malpraktik Dalam Dunia Fiqih Dan
Fatwa??
Modus malpraktik
dalam dunia fiqih sangat mirip sekali dengan malpraktik dalam dunia kedokteran.
Akantetapi dampak buruknya lebih dahsayat. Kekacauan dalam masyarakat Islam
akan terjadi.
Coba kita
perhatikan oknum ustadz di sekeliling kita. Berapa banyak mereka yang berani
berfatwa dan memutuskan hukum fiqih tapi tidak memiliki bekal kemampuan ilmu syariah
yang memadai.
Jika ditilik
dari riwayat pendidikannya, nyaris tak ada hubunganya dengan ilmu fiqih. Bahkan
mengenal ilmu fiqihpun hanya dari mendengarkan pengajian yang dia datangi satu
pekan sekali. Itupun pengajian dengan ustadz yang belajar agama otodidak.
jika kita
runtutkan sanad ilmunya, maka akan kita temukakan rantainya seperti ini:
---> BARU
belajar (baru hitungan bulan) ---> balajar hanya dari mendengarkan
pengajian, ---> intensitas pengajiannya satu pekan sekali. --> Dan
sialnya, pengajian yang ia datangi diasuh oleh ustadz yang belajar ilmu fiqihnya
dengan cara otodidak ditemani buku-buku fikih terjemahan.
Pengetahuan fiqih
yang ia pelajari adalah fiqih pratktis. Fiqih yang diperuntukkan bagi pemula
dan bukan untuk ahli. Nyaris tidak ada contoh perbedaan dalam hukum. Jadi memang
tanpa memahami apa itu perbandingan madzhab, tanpa ada sentuhan ushul fiqih (sekalipun dasarnya), dan tidak memahami ikhtilafaatul araak dalam dunia fiqih. Begitupun
dengan dalil yang dia temukan, sangan simpel dan singkat.
Sebenarnya itu
sudah lebih dari cukup jika digunakan sebagai bekal ibadah dan tuntunannya. Tapi
sangat kurang jika diperuntukkan untuk berkoar-koar di ranah ikhtilafat
mazdahib.
Bagaimana Seharusnya? Dan siapa yang boleh bicara?
Siapa saja boleh
bicara masalah fiqih. Ilmu fiqih bebas dibicarakan oleh semua orang. Tapi perlu
diingat, ada aturan mainnya.
Karena berbicara
masalah fiqih perlu modal yang cukup. Pengetahuan yang memadai dan tidak
asal-asalan. Ilmu alat dalam ilmu fiqih harus benar-benar dikuasai: ushul
fiqih, qowaid fiqhiyah, aro’ fuqaha (pendapat) beserta sebab yang memicu
perbedaannya, dsb.
Jika syarat-syarat
itu sudah terpenuhi, maka monggo (silahkan) kita bicara baren-bareng.
Jika Syarat-syarat Itu Tidak Terpenuhi??
Nah, dengan modal
alakadarnya tersebut, si ustadz oknum ini mulai buka praktik sama seprti
dokter. Bikin pengajian dan berfatwa..
Yang
terjadi...???!!!!
1.
Berfatwa ngawur,
dengan dalil serampangan.
2. Gumunan (kaget)
ketika melihat yang berbeda. Karena yang dia pelajari adalah fiqih praktis.
3.
Dia suka mengingatkan orang
lain, tapi dengan label bid’ah dan sesat.
4. Dan yang paling parah, semua
orang di sekelilingnya dianggap sakit dan tanpa sadar jika yang sebenarnya
sakit itu dia.
Mengerikan
bukan?!
Contoh Nash
Yang Difahami Dengan Keliru
Dalam sebuah
hadist Rasulullah bersabda:
إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران، وإذا
حكم واجتهد ثم أخطأ فله أجرٌ
“Jika
seorang hakim memutuskan hukum dan berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka
dia memperoleh dua pahala. Jika dia salah dalam berijtihad, maka dia memperoleh
satu pahala.”
Pemahman keliru:
Hadist ini
difahami sebagai dalil satu kebenaran muthlaq dalam sebuah ijtihad dan
menolak ikhtilaf. Artinya, dalam perbedaan pendapat ulama dalam suatu hukum,
maka yang benar hanya satu dan yang lain salah dan tidak bisa ditolerir.
Koreksi:
Memang, kebenaran
mutlaq itu ada, tapi itu hanya Allah SWT yang menghukumi dan bukan dalam ranah
ijtihad. Karena jika seseorang berijtihad sesuai dengan aturan dan memenuhi
syarat mujtahid, maka ijtihadnya bisa benar bisa juga salah.
Memperoleh satu
pahala dalam berijtihat adalah suatu yang pasti (qoth’ie), tapi
untuk mengklaim bahwa mujtahid tersebut memperoleh dua pahala adalah kemungkinan
(dzannie).
Maka yang
diajarkan oleh Al-imam Assyafi’i adalah: “pendapatku (madzhab) adalah
benar, tapi kemungkinan mengandung kesalahan. Dan pendapat (madzhab) orang lain
salah, tapi kemungkinan mengandung kebenaran.”
Kalimat itu
mengajarkan kepada kita bahwa kebenaran muthlaq hanya Allah yang akan menilai
dan tidak ada satu mujtahidpun yang boleh mengklaimnya. Tapi kebenaran dzannie bisa diklaim siapa
saja.
Kesalahan dalam
memahami hadits ini berakibat sangat buruk dalam dunia fiqih (ikhtilafnya). Karena
masing-masing madzhab akan mengklaim bahwa diri mereklah yang paling benar. Akibat
yang paling fatal adalah memaksakan satu pendapat kepada orang lain.
Dengan mendalami
ilmu fiqih, sekalipun tidak sampai pada derajat mujtahit, tapi setidaknya kita bisa
memahami pendapat orang lain. Semakin kita faham, maka semakin kita bijak. Semakin
kita banyak belajar, maka semakin kita lebih berhati-hati dengan ucapan.
Tidak mengumbar
kata bid’ah dan sesat dalam menyikapi perbedaan adalah nilai puncak dalam
mempelajari fiqih.
Wallahu a’lam
bisshawab
Oleh: Ahmad
Hilmi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar