Seseorang yang
telah menikah pasti akan merasakan sebuah kebahagiaan. Yang pertama bahagia
karena sudah memiliki pasangan secara pribadi, dan yang kedua bahagia karena
semakin luas lingkup keluarganya. Karena masing-masing pasangan membawa
keluarga besar. Terlebih adat ketimuran kita mempunyai istilah “menikah itu
bukan hanya mengawinkan dua individu, tapi juga menyatukan dua kelaurga yang
berbeda.”
Orang tua
pasangan kita akan menjadi orang tua kita, paman dan bibi pasangan kita akan
menjadi paman dan bibi kita, adik dan kakak pasangan kita akan menjadi adik dan
kakak kita juga. Jadi intinya, semua gelar urutan nasab keluarga pasangan kita
hampir semua kita sandang sebagaimana pasangan kita menyandangnya. Secara umum,
mahram (haram untuk dinikah) pasangan kita adalah mahram kita juga.
Akantetapi ada
hal yang perlu kita perjelas lagi mengenai hubungan mahram dari sebuah
perkawinan. Karena tidak semua mahram dari perkawinan bisa diperlakukan sama
sebagaimana pasangan kita memperlakukannya, terlebih masalah kedekatan
interaksi. Karena ada interksi yang terbatas dan tidak terbatas.
Contoh kasus perlakuan
dan interaksi tanpa batas:
Ahmad menikah
dengan Fathimah, maka ibunya Fatimah
adalah mahram mutlah bagi Ahmad. Masalah
interksi Ahmad dengan ibu mertuanya (ibunya Fatimah) sama persis seperti ibu
kandungnya. Begitupun sebaliknya, bapaknya Ahmad adalah mahram mutlak bagi
Fatimah. Maka batasan interksi Fatimah dengan bapak mertuanya (bapaknya Ahmad)
sama seperti interaksinya dengan bapak kandungnya.
Konsekuensinya
dari hubungan seperti ini adalah adanya kebolehan dan adanya larangan dalam
interaksi. Contoh kebolehannya: Fatimah boleh pergi berdua dengan bapak
mertuanya, Fatimah boleh membuka hijabnya di depan bapak mertuanya, Fatimah
boleh berduaan dengan bapak mertuanya, dan lain sebagainya sebagaimana interksi
Fatimah dengan bapak kandungnya. Ini berlaku sebaliknya, Ahmad boleh
berinterksi dengan ibu mertuannya sama seperti interaksinya dengan ibu
kandungnya.
Contoh
larangannya adalah Fatimah tidak boleh (haram) menikah dengan bapak mertuanya
(bapaknya ahmad) walaupun mereka (Fatimah dan Ahmad) sudah bercerai. Dan sebaliknya,
Ahmad tidak boleh (haram) menikahi ibu mertuanya (ibunya) Fatimah. Hal inilah
yang disebut dalam istilah agama sebahgai mahram muabbad atau
hubungan mahram selamanya.
Contoh perlakuan
iterasi seperti ini berlaku juga untuk hubungan nasab keatas, kakek atau nenek
pasangan kita. Karena kakek dan nenek memiliki posisi seperti ibu dan bapak.
….)وَأُمَّهَاتُ
نِسَائِكُمْ(….
Artinya: “….(dan
diharamkan bagimu) menikahi ibu-ibu dari isrirtimu (mertua)…..” (QS:
Annisa: 23)
Ayat ini berlaku
kebalikannya walaupun kata gantinya untuk laki-laki. Jika laki-laki haram
menikahi ibu mertuanya, maka wanita pun haram menikah dengan bapak mertuanya.
Contoh
perlakuan dan interksi terbatas:
Masih dengan
contoh di atas, pernikahan Ahmad dan Fatimah.
Fatimah memiliki
saudara kandung perempuan yang bernama Zahra, yang kemudian disebut sebagai
saudara ipar bagi Ahmad. Mengenai interaksi Ahmad dengan Zahra sebagai saudra
ipar, maka Ahmad tidak boleh memperlakukannya seperti saudara perempuan
kandungnya.
Dan sebaliknya,
jika Ahmad memiliki saudara laki-laki kandung yang bernama Umar, maka Umar
menjadi saudara ipar bagi Fatimah. Batasan interksi Fatimah dengan Umar
(saudara iparnya) tidak sama dengan interksinya dengan saudara laki-laki
kandungnya.
Kadar kemahraman
saudara ipar sangat terbatas, yaitu hanya tidak boleh menikah. Batasan
interksi itu tidak sama dengan saudara kandung. Saudara ipar adalah orang lain
(ajnabi).
Konsekuensi dari
persaudaraan ipar semuanya adalah larangan. Fatimah dilarang berduaan dengan
umar, Fatimah dilarang pergi berduaan dengan umar dan Fatimah juga dilarang
membuka hijab di depan umar. Dan ini berlaku sebaliknya, yaitu hubungan Ahmad
dengan Zahra yang juga saudara ipar. Inilah yang dalam istilah agama disebut mahrah
muaqqot atau hubungan mahram yang terbatas oleh waktu.
Maksud dari
mahram (muaqqot) yang terbatas oleh waktu adalah Ahmad tidak boleh menikah
dengan Zahra (saudara iparnya) ketika Ahmad dan Fatimah masih bersetatus suami
istri. Jadi, jika Ahmad dan Fatimah tidak lagi berstatus suami Istri (baik
dengan perceraian maupun kematian), maka Ahmad boleh menikahi Zahra.
Dan sebaliknya
dari pihak Fatimah. Fatimah tidah boleh menikah dengan Umar (saudara iparnya)
ketika Fatimah dan Ahamd masih berstatus suami istri. Jadi, jika Fatimah Dan
Ahmad tidak lagi berstatus suami istri (baik dengan perceraian atau kematian)
maka Fatimah boleh menikah dengan Umar (saudra iparnya).
Argument
mengenai permasalahan saudara ipar ada di dalam sebuah ayat (QS: Annisa: 23)
(......وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ
الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ...)
Artinya:”…….
(Dan diharankan bagimu) menggabungkan
dua wanita bersaudara (dalam satu pernikahan) kecuali sudah terjadi pada masa
lampau….”. (QS: Annisa: 23)
Dalam sebuah
kesempatan juga Rasulullah pernah ditanya oleh para sahabat mengenai status
hubungan saudra ipar dan batasa interksi dengannya, Rasulullah bersabda:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: " الْحَمْوُ: الْمَوْتُ "
Atinya: wahai Rasulullah
bagaimana pendapatmu tentang saudara ipar? Beliau menjawab: “saudara ipar
adalah kematian” (HR. Bukhari)
Kematian disini
adalah banyaknya fitnah yang timbul disebabkakan oleh ketidaktahuan kita
tentang batasan hubungan mahram. Memperlakukan saudara ipar seperti saudara
kandung, padahal ipar adalah ajnabi (orang asing).
Persoalan
seputar saudara ipar bisa diterapkan juga pada hubungan dengan bibi dan
paman dan juga bisa di terapkan pada
keponakan dari pasangan kita.
Contoh kasus:
Pertama: Ahmad
dan Fatimah pasangan suami istri, maka Ahmad tidak boleh menikah dengan bibinya
Fatimah. Tetapi jika mereka tidak ladi menjadi pasangan suami istri, maka Ahmad
boleh menikahi bibinya Fatimah. Dan sebaliknya.
Kedua: Ahmad
dan Fatimah adalah pasangan suami istri, maka Ahmad tidak boleh menikahi
keponakan perempuannya Fatimah. Tetapi jika mereka sudah berpisah, maka Ahmad
boleh menikahi salah satu keponakan perempuan Fatimah.
Persoalan ini
terangkum dalam sebuah hadits yang
berbunyi:
لاَ
يُجْمَعُ بَيْنَ المَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا، وَلاَ بَيْنَ المَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
Artinya: “Tidak
boleh menggabungkan antara seorang wanita dengan bibinya, baik bibi dari ayah
maupun dari ibu (dalam satu ikatan pernikahan yang sama).” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Demikin
penjelasan singkat seputar mahram dari jalur pernikahan. Semoga kedepannya kita
bisa lebih memahami siapa saja orang-orang yang masuk dalam katagori mahram
yang tidak terbatas interaksinya dan siapa saja yang masuk dalam mahram
terbatas interaksinya.
Wallahu a’lam
bisshawab
Oleh: Ahmad
Hilmi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar