Pages

Kamis, 24 Oktober 2013

Ayo, Mengenal Mahram Kita Dari Jalur Pernikahan

Seseorang yang telah menikah pasti akan merasakan sebuah kebahagiaan. Yang pertama bahagia karena sudah memiliki pasangan secara pribadi, dan yang kedua bahagia karena semakin luas lingkup keluarganya. Karena masing-masing pasangan membawa keluarga besar. Terlebih adat ketimuran kita mempunyai istilah “menikah itu bukan hanya mengawinkan dua individu, tapi juga menyatukan dua kelaurga yang berbeda.”
Orang tua pasangan kita akan menjadi orang tua kita, paman dan bibi pasangan kita akan menjadi paman dan bibi kita, adik dan kakak pasangan kita akan menjadi adik dan kakak kita juga. Jadi intinya, semua gelar urutan nasab keluarga pasangan kita hampir semua kita sandang sebagaimana pasangan kita menyandangnya. Secara umum, mahram (haram untuk dinikah) pasangan kita adalah mahram kita juga.

Akantetapi ada hal yang perlu kita perjelas lagi mengenai hubungan mahram dari sebuah perkawinan. Karena tidak semua mahram dari perkawinan bisa diperlakukan sama sebagaimana pasangan kita memperlakukannya, terlebih masalah kedekatan interaksi. Karena ada interksi yang terbatas dan tidak terbatas.

Contoh kasus perlakuan dan interaksi tanpa batas:
Ahmad menikah dengan Fathimah, maka  ibunya Fatimah adalah mahram mutlah  bagi Ahmad. Masalah interksi Ahmad dengan ibu mertuanya (ibunya Fatimah) sama persis seperti ibu kandungnya. Begitupun sebaliknya, bapaknya Ahmad adalah mahram mutlak bagi Fatimah. Maka batasan interksi Fatimah dengan bapak mertuanya (bapaknya Ahmad) sama seperti interaksinya dengan bapak kandungnya.
Konsekuensinya dari hubungan seperti ini adalah adanya kebolehan dan adanya larangan dalam interaksi. Contoh kebolehannya: Fatimah boleh pergi berdua dengan bapak mertuanya, Fatimah boleh membuka hijabnya di depan bapak mertuanya, Fatimah boleh berduaan dengan bapak mertuanya, dan lain sebagainya sebagaimana interksi Fatimah dengan bapak kandungnya. Ini berlaku sebaliknya, Ahmad boleh berinterksi dengan ibu mertuannya sama seperti interaksinya dengan ibu kandungnya.
Contoh larangannya adalah Fatimah tidak boleh (haram) menikah dengan bapak mertuanya (bapaknya ahmad) walaupun mereka (Fatimah dan Ahmad) sudah bercerai. Dan sebaliknya, Ahmad tidak boleh (haram) menikahi ibu mertuanya (ibunya) Fatimah. Hal inilah yang disebut dalam istilah agama sebahgai mahram muabbad atau hubungan mahram selamanya.
Contoh perlakuan iterasi seperti ini berlaku juga untuk hubungan nasab keatas, kakek atau nenek pasangan kita. Karena kakek dan nenek memiliki posisi seperti ibu dan bapak.

….)وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ(….

Artinya: “….(dan diharamkan bagimu) menikahi ibu-ibu dari isrirtimu (mertua)…..” (QS: Annisa: 23)
Ayat ini berlaku kebalikannya walaupun kata gantinya untuk laki-laki. Jika laki-laki haram menikahi ibu mertuanya, maka wanita pun haram menikah dengan bapak mertuanya.

Contoh perlakuan dan interksi terbatas:
Masih dengan contoh di atas, pernikahan Ahmad dan Fatimah.
Fatimah memiliki saudara kandung perempuan yang bernama Zahra, yang kemudian disebut sebagai saudara ipar bagi Ahmad. Mengenai interaksi Ahmad dengan Zahra sebagai saudra ipar, maka Ahmad tidak boleh memperlakukannya seperti saudara perempuan kandungnya.
Dan sebaliknya, jika Ahmad memiliki saudara laki-laki kandung yang bernama Umar, maka Umar menjadi saudara ipar bagi Fatimah. Batasan interksi Fatimah dengan Umar (saudara iparnya) tidak sama dengan interksinya dengan saudara laki-laki kandungnya.
Kadar kemahraman saudara ipar sangat terbatas, yaitu hanya tidak boleh menikah. Batasan interksi itu tidak sama dengan saudara kandung. Saudara ipar adalah orang lain (ajnabi).
Konsekuensi dari persaudaraan ipar semuanya adalah larangan. Fatimah dilarang berduaan dengan umar, Fatimah dilarang pergi berduaan dengan umar dan Fatimah juga dilarang membuka hijab di depan umar. Dan ini berlaku sebaliknya, yaitu hubungan Ahmad dengan Zahra yang juga saudara ipar. Inilah yang dalam istilah agama disebut mahrah muaqqot atau hubungan mahram yang terbatas oleh waktu.
Maksud dari mahram (muaqqot) yang terbatas oleh waktu adalah Ahmad tidak boleh menikah dengan Zahra (saudara iparnya) ketika Ahmad dan Fatimah masih bersetatus suami istri. Jadi, jika Ahmad dan Fatimah tidak lagi berstatus suami Istri (baik dengan perceraian maupun kematian), maka Ahmad boleh menikahi Zahra.
Dan sebaliknya dari pihak Fatimah. Fatimah tidah boleh menikah dengan Umar (saudara iparnya) ketika Fatimah dan Ahamd masih berstatus suami istri. Jadi, jika Fatimah Dan Ahmad tidak lagi berstatus suami istri (baik dengan perceraian atau kematian) maka Fatimah boleh menikah dengan Umar (saudra iparnya).
Argument mengenai permasalahan saudara ipar ada di dalam sebuah ayat (QS: Annisa: 23)

(......وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ...)

Artinya:”……. (Dan diharankan bagimu)  menggabungkan dua wanita bersaudara (dalam satu pernikahan) kecuali sudah terjadi pada masa lampau….”. (QS: Annisa: 23)

Dalam sebuah kesempatan juga Rasulullah pernah ditanya oleh para sahabat mengenai status hubungan saudra ipar dan batasa interksi dengannya, Rasulullah bersabda:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَرَأَيْتَ  الْحَمْوَ؟ قَالَ: " الْحَمْوُ: الْمَوْتُ "
Atinya: wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu tentang saudara ipar? Beliau menjawab: “saudara ipar adalah kematian” (HR. Bukhari)
Kematian disini adalah banyaknya fitnah yang timbul disebabkakan oleh ketidaktahuan kita tentang batasan hubungan mahram. Memperlakukan saudara ipar seperti saudara kandung, padahal ipar adalah ajnabi (orang asing).
Persoalan seputar saudara ipar bisa diterapkan juga pada hubungan dengan bibi dan paman  dan juga bisa di terapkan pada keponakan dari pasangan kita.
Contoh kasus:
Pertama: Ahmad dan Fatimah pasangan suami istri, maka Ahmad tidak boleh menikah dengan bibinya Fatimah. Tetapi jika mereka tidak ladi menjadi pasangan suami istri, maka Ahmad boleh menikahi bibinya Fatimah. Dan sebaliknya.
Kedua: Ahmad dan Fatimah adalah pasangan suami istri, maka Ahmad tidak boleh menikahi keponakan perempuannya Fatimah. Tetapi jika mereka sudah berpisah, maka Ahmad boleh menikahi salah satu keponakan perempuan Fatimah.
Persoalan ini terangkum dalam sebuah hadits  yang berbunyi:

لاَ يُجْمَعُ بَيْنَ المَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا، وَلاَ بَيْنَ المَرْأَةِ وَخَالَتِهَا

Artinya: “Tidak boleh menggabungkan antara seorang wanita dengan bibinya, baik bibi dari ayah maupun dari ibu (dalam satu ikatan pernikahan yang sama).” (HR. Bukhari  dan Muslim).
Demikin penjelasan singkat seputar mahram dari jalur pernikahan. Semoga kedepannya kita bisa lebih memahami siapa saja orang-orang yang masuk dalam katagori mahram yang tidak terbatas interaksinya dan siapa saja yang masuk dalam mahram terbatas interaksinya.

Wallahu a’lam bisshawab

Oleh: Ahmad Hilmi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About