Di libur akhir pekan, saya sempatkan menemani istri belanja
beras di pasar. Setelah menanyakan
kualitas beras beserta harganya di salah satu kios, kemuadian istri mengambil
beras seharga Rp. 9000,00/ kg. Biasanya, dengan kisaran harga segitu, sudah
bisa memberoleh beras baru dengan kualitas bagus. Begitupun yang diucapkan
pedagang dengan sangat meyakinkan. Kalaupun ada kenaikan harga tak akan
terlihat signifikan.
Ternyata, setelah dimasak nasi yang dihasilkan beraroma
"apek" dengan rasa yang tidak gurih. Ini menandakan beras itu stok
lama atau beras baru yang dicampur dengan beras bulog.
Saya dan istri hanya bergumam, "astagfirullah, ternyata
bagi sebagian orang mencari rejeki halal itu tak mudah."
Di lain kesempatan, bapak dan ibu saya membeli ikan Bandeng
dengan ukuran timbang 1 kg. Iseng-iseng, bandeng yang sudah dipilih dengan
takaran 1 kg (versi pedagangnya) di timbang ulang dengan meminjam alat timbang
pedagang lain. Dan hasilnya mengejutkan, selisih timbangan sangat banyak.
Dengan tersipu malu si pedagang ikan bandeng itu mengakui kecurangannya dan
menambah kekurangnnya.
Dan itulah pasar, oleh Rasulullah disebut sebagai tempat yang
paling buruk, yang di dalamnya ada kecurangan, penipuan, manipilasi dll.
أحب البلاد إلى الله مساجدها و أبغض البلاد
إلى الله أسواقها
”Tempat yang paling dicintai Allah
adalah masjid-masjidnya dan yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim)
Kaum Muthoffifin (Orang-orang yang Berbuat Curang)
Sebenarnya, perilaku curang dalam perdagangan sudah terjadi
sejak lama. Begitu pun tatkala Rasulullah awal kali tiba di Yatsrib (Madinah),
beliau menemukan banyak sekali pedagang yang mengurangi timbangan dan takaran
pada barang dagangannya. Hingga akhirnya fenomena kecurangan ini menjadi sebab
turunnya awal Surat Al-Mutaffifin. Allah SWT berfirman:
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ (1) الَّذِينَ
إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (2) وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ
يُخْسِرُونَ (3) أَلَا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ (4) لِيَوْمٍ عَظِيمٍ
(5) يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ (6)
“1. Celakalah bagi orang-orang yang
curang (dalam menakar dan menimbang 2. (yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi 3. dan apabila mereka
menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi 4.Tidakkah
orang-orang itu mengira, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, 5. pada
suatu hari yang besar 6. (yaitu) pada hari (ketika) semua orang bangkit[8]
menghadap Tuhan seluruh alam” (QS.
Al-Muthaffifin 1 – 5)
Definisi "Muthaffifin" sebagai mana yang
sebutkan Iman Ibn Katsir dalam tafsirnya, adalah orang yang merubah takaran dan
timbangan. Jika menjadi pembeli dia ingin takaran dan timbangannya
disempurnakan atau bahkan minta tambahan, namun ketika menjadi penjual, dia
mengurangi timbangan pembelinya.
Pada awal ayat, Allah SWT memberi ancama dengan sebutan
"wailun/ celaka" bagi pelaku curang. Di antara bentuk celaka yang
mereka derita adalah hilangnya barokah dari harta yang diperoleh. Karena
sejatinya, kentungan materi yang mereka dapatkan dari hasil kecurangan hanyalah
kekurangan akibat hilangnya barokah. Tidak adanya barokah menyebabkan jauhnya
sifat Qonaah (Merasa cukup dan Syukur). Jauhnya sifat Qonaah sering kali
menjerumuskan manusia pada sikap Tamak, rakus dan serakah. Kita berlindung
kepada Allah SWT dari semua sifat dan perilaku buruk tersebut.
Wallahu a'lam bi as Shawab
Oleh: Ahmad Hilmi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar