Pages

Minggu, 02 Februari 2014

Kelebihan Percaya Diri = Obesitas

PeDe (percaya diri) merupakan satu nikmat dan karunia dari Allah subhanuhu wata’ala yang wajib disyukuri. Bagaimana tidak, ketika sebagian orang tidak bisa menyampaikan buah pikirannya karena alasan tidak percaya diri, orang yang punya rada Pede mampu melakukannya. Kala sebagian orang merasa kerdil bak batu kerikil yang sanagt kecil, si pemilik rasa PeDe mampu unjuk gigi dengan segala gagasan dan opininya.

Layaknya sebagai sebuah nikmat, PeDe juga bisa berubah menjadi laknat. Ya, ketika berlebihan. Berat badan yang bertanbah akan terlihat ideal jika sesuai dengan postur tubuh. Bahkan, si pemilik badanpun akan semakin terlihat anggun dan gagah dengan paduan berat badan dan postur tubuh yang ideal tersebut. Hal ini akan terlihat sangat berbeda ketika postur tubuh yang tidak tinggi tetapi berat badan yang berlebih. Obesitas namanya. Bukan hanya kehilangan keanggunannya, tapi juga malah terlihat lemah dan lesu dan gak pantes.

PeDe memang bagus, ketika tidak berlebihan dan dikontrol sesuai kemampuan.


Tulisan pendek ini saya buat setelah membaca status Facebook dari seorang kawan yang sangat percaya diri ingin menjadi seorang mujtahid. Tapi sayang, PeDenya sangat berlebihan persis seperti obesitas. Sangat tidak ideal. Alih-alih ingin disebut sebagai ustadz hebat dengan modal gelar sarjana syariah, ia justru terlihat wagu lan saru (gak pantes dan gak patut). Bagaimana tidak wagu lan saru, gelar sarjana syariah dengan muatan mata kuliah Ushul Fiqh 4 jam/ pekan ingin ia jadikan modal ber-ijtihad sebagaimana ijtihatnya para ulama madzhab.

Ia mengatakan, termasuk percuma belajar Ushul Fiqih jika masih berkutat pada posisi muqollid (taqlid).
Saya rasa masih banya hal positif yang bisa kita lakukan sebagai pemula dalam bidang Ushul Fiqih. Memahami hujjah orang lain dan toleransi dalam berpendapat saya kira jauh lebih terhormat daripada memaksakan kehendak untuk menjadi sorang mujtahid dengan modal terbatas dan berantakan (modal madul). Hal ini justru bisa menampakkan kebodohan dengan sengaja.

Sebenarnya tidak ada yang perlu disesali sebagai pembelajar pemula Ushul Fiqh yang tidak sampai pada derajat mujtahid. Setidaknya kita bisa menjadi muqollid yang baik. Jauh lebih baik menjadi muqollid, dari pada berijtihat sendiri dengan gaya serampangan. selain bisa menyesatkan diri sendiri dan orang lain berijtidah yang bukan pada porsinya bisa menumbulkan dosa.

Sebagai penutup, saya ingat dengan perkataan DR. Azzazi Al-Mishri (salah seorang dosen di kampus kami), satu-satunya kesalahan yang berpahala adalah kesalahan seorang mujtahid dalam berijtihad. Dan kebenaran yang bisa menyebabkan dosa adalah kebenaran ijtihadnya orang awam. karena benarnya sebuah kebetulan dan bukan hasil pemikiran yang mendalam. Ucapan beliau ini sejalan dengan sabda Rasulullah Salallahu ‘alaihi wa salla dalam bab ijtihad.

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ

“Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan keliru, baginya satu pahala” (HR. Bukhari dan Muslim)


Wallahu a’lam bisshowab

Oleh: Ahmad Hilmi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About