PeDe (percaya diri) merupakan satu nikmat
dan karunia dari Allah subhanuhu wata’ala yang wajib disyukuri.
Bagaimana tidak, ketika sebagian orang tidak bisa menyampaikan buah
pikirannya karena alasan tidak percaya diri, orang yang punya rada Pede
mampu melakukannya. Kala sebagian orang merasa kerdil bak batu kerikil
yang sanagt kecil, si pemilik rasa PeDe mampu unjuk gigi dengan segala gagasan dan opininya.
Layaknya sebagai sebuah nikmat, PeDe juga bisa berubah menjadi laknat.
Ya, ketika berlebihan. Berat badan yang bertanbah akan terlihat ideal
jika sesuai dengan postur tubuh. Bahkan, si pemilik badanpun akan
semakin terlihat anggun dan gagah dengan paduan berat badan dan postur
tubuh yang ideal tersebut. Hal ini akan terlihat sangat berbeda ketika
postur tubuh yang tidak tinggi tetapi berat badan yang berlebih.
Obesitas namanya. Bukan hanya kehilangan keanggunannya, tapi juga malah
terlihat lemah dan lesu dan gak pantes.
PeDe memang bagus, ketika tidak berlebihan dan dikontrol sesuai kemampuan.
Tulisan pendek ini saya buat setelah membaca status Facebook dari seorang
kawan yang sangat percaya diri ingin menjadi seorang mujtahid. Tapi
sayang, PeDenya sangat berlebihan persis seperti obesitas. Sangat tidak
ideal. Alih-alih ingin disebut sebagai ustadz hebat dengan modal gelar
sarjana syariah, ia justru terlihat wagu lan saru (gak pantes dan gak
patut). Bagaimana tidak wagu lan saru, gelar sarjana syariah dengan
muatan mata kuliah Ushul Fiqh 4 jam/ pekan ingin ia jadikan modal
ber-ijtihad sebagaimana ijtihatnya para ulama madzhab.
Ia mengatakan, termasuk percuma belajar Ushul Fiqih jika masih berkutat pada posisi muqollid (taqlid).
Saya rasa masih banya hal positif yang bisa kita lakukan sebagai pemula
dalam bidang Ushul Fiqih. Memahami hujjah orang lain dan toleransi
dalam berpendapat saya kira jauh lebih terhormat daripada memaksakan
kehendak untuk menjadi sorang mujtahid dengan modal terbatas dan
berantakan (modal madul). Hal ini justru bisa menampakkan kebodohan
dengan sengaja.
Sebenarnya tidak ada yang perlu disesali sebagai pembelajar pemula
Ushul Fiqh yang tidak sampai pada derajat mujtahid. Setidaknya kita
bisa menjadi muqollid yang baik. Jauh lebih baik menjadi muqollid, dari
pada berijtihat sendiri dengan gaya serampangan. selain bisa
menyesatkan diri sendiri dan orang lain berijtidah yang bukan pada
porsinya bisa menumbulkan dosa.
Sebagai penutup, saya ingat dengan perkataan DR. Azzazi Al-Mishri (salah seorang dosen di kampus kami),
satu-satunya kesalahan yang berpahala adalah kesalahan seorang
mujtahid dalam berijtihad. Dan kebenaran yang bisa menyebabkan dosa
adalah kebenaran ijtihadnya orang awam. karena benarnya sebuah
kebetulan dan bukan hasil pemikiran yang mendalam. Ucapan beliau ini
sejalan dengan sabda Rasulullah Salallahu ‘alaihi wa salla dalam bab
ijtihad.
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
“Apabila
seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan benar,
baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu
berijtihad dan keliru, baginya satu pahala” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wallahu a’lam bisshowab
Oleh: Ahmad Hilmi
Minggu, 02 Februari 2014
Kelebihan Percaya Diri = Obesitas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar