Pages

Kamis, 16 Mei 2013

GURU BUKAN PENDIDIK

Guru Bukan pendidik

Di sebuah sekolah, setingkat SMA, ada seorang guru mata pelajaran Matematika yang pandai. Dia begitu menguasai materi yang disampaikan kepada muridnya. Bahkan banyak murid yang akhirnya menguasai pelajaran matematika dengan penjelasannya.

Disisi yang lain, ternyata para murid yang sudah dia pandaikan tidak menghormatinya dan tidak segan terhadapnya. Bahkan para murid terkesan acuh terhadapnya. Bila disimpulkan, guru ini tidak ada harganya di mata para murid.

Kenapa bisa terjadi seperti ini?

Ternyata sikap tidak hormat yang ditampakkan para murid terhadap guru ini sangat beralasan. Mengingat guru ini dikenal sebagai penjudi dan pemabuk (peminum MIRAS) di lingkungan tempat tinggalnya.


Guru Sebagai Pendidik 

Beberapa tahun silam, ketika saya masih kecil, sosok guru selalu diidentikkan sebagai sosok  yang sangat disegani di dunia pendidikan. Disegani karena mereka memiliki peran penting mendampingi para orang tua dalam mendidik anak.

Jadi tidak terlalu berlebihan jika orang Jawa memiliki kepanjangan kata guru: digugu dan ditiru. Artinya: dipercaya (diikuti ucapannya) dan ditiru. Mengingat  guru adalah pihak yang mengajarkan ilmu kepada murid serta mendidiknya dari sisi moral.

Sebagai contoh kecil, seorang guru mata pelajaran Matematika, di samping dia mengajarkan materi Matematika dia juga mengajarkan nilai-nilai moral. Tindak tandukya layak menjadi panutan murid-muridnya, perilaku yang tercermin dari dirinya dapat dijadikan contoh bagi anak didiknya.


Dalam lingkup dunia pendidikan nasional, kita mengenal sosok Ki Hajar Dewantara dengan ungkapannya, “Ing ngarso sung tuladha, ing madyo madyo mangun karyo, tut wuri handayani “ (Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan).

Sungguh ungkapan yang begitu indah dalam menggambarkan sosok guru. Guru yang mampu memenuhi kebutuhan anak didik. Mengajar, memberi teladan, membimbing  dan memberi dorongan dan semangat.

Sosok guru seperti inilah yang akan selalu dikenang para murid. Disegani  murid bukan hanya dilingkungan sekolah, tapi juga diluar sekolah. Guru yang akan selalu dihormati siswanya sepanjang zaman. Jadi dia tidak akan pernah menyandang gelar mantan guru.

Guru sebagai pengajar, bukan pendidik

Jika kita perhatikan tingkat akademi para guru saat ini, rata-rata mereka menyandang gelar sarjana pendidikan. Bahkan tidak jarang sebagian mereka ada yang menyandang gelar master pendidikan. Sungguh gelar yang jarang dimiliki oleh guru-guru masa lalu.

Dari tingkat akademi mereka yang tinggi, kita bisa melihat tingginya ilmu yang mereka miliki. Dari gelar sarjana yang mereka sandang, kita bisa mengukur ilmu yang tinggi. Sungguh ini menjadi kemajuan yang sangat bagus dalam dunia pendidikan.

Akan tetapi ada hal yang sangat disayangkan, tingginya gelar sarjana yang disandang para guru tidak menjamin kualitasnya sebagai pendidik. Bahkan tidak layak disebut sebagai guru, apalagi pendidik. 

Jika kembali melihat prolog di atas, maka kita akan bisa membedakan antara guru yang memiliki jiwa pendidik dengan guru yang sekedar bisa mengajar. Guru tersebut pandai pada mata pelajarannya, tetapi dia nol dari sisi moral. Padahal moral merupakan komponen vital untuk bisa dikatakan sebagai pendidik.

Dan kenyataan yang terjadi di lapangan memang seperti ini. Banyak guru yang tidak memiliki jiwa pendidik. Yang dia tahu hanya mentrasfer pengetahuan. Bagaimana tidak, untuk dirinya sendiri saja dia tidak mampu mendidik, apalagi mendidik murid.


Guru adalah sebuah pekerjaan

Ada seorang siswa SMA ketika lulus, dia bingung menentukan pilihan untuk masuk fakultas/ jurusan. Setelah konsultasi ke beberapa pihak, ternyata pilihan jatuh pada fakultas Pendidikan (Bahasa Daerah).Kenapa harus Bahasa Daerah? Padahal jika dilihat latar belakangnya, dia tidak memiliki  keahlian bahasa. Bahkan bisa dikatakan bahasa daerahnya sangat kacau.

Ternyata alasannya mengambil jurusan Bahasa Daerah adalah karena peluang untuk diterima sebagai guru sangat terbuka lebar. Mengingat jarang sekali mahasiswa/i yang mau mengambil jurusan ini sedangkan permintaan pasar sangat banyak. Artinya jika diterima sebagai guru dia memiliki pekerjaan.

Sekali lagi, alasan untuk menjadi guru bukan karena dia ingin menjadi pendidik, tapi ingin mencari pekerjaan yang sedang diminati pasar. Apapun  fakultas yang dia ambil yang penting bisa mengantarkannya kepada sebuah pekerjaan.

Jika ini yang menjadi alasan untuk menjadi guru, maka dengan pandangan kasar pun kita akan bisa meramalkan kualitas pendidikan beberapa waktu kedepan.

Menjadi Guru Yang Mendidik

Menjalani profesi sebagai guru gampang-gampang susah. Gampang ketika kita tidak memperdulikan kualitas. Yang penting  jadi guru dan memiliki pekerjaan. Tidak usah tengok kanan kiri ketika bicara kualitas, karena akan terlihat belangnya.  Karena memang dari awal sudah tidak berkualitas.

Akan tetapi jika kita ingin berbicara masalah kualitas, maka tentu akan terasa susah dan berat. Bagaimana tidak, guru dituntut untuk mentrsanfer ilmu dengan baik, juga diminta untuk menjadi teladan bagi murid-muridnya.

Kita tentu
ingat dengan pesan yang selalu disampaikan Bapak BJ. Habibie kepada pelajar. Pesan untuk mendalami IPTEK dan tidak melepaskan IMTAQ. Berkualitas secara intelektual yang diimbangi dengan kualitas iman dan moral.

Tentu ini adalah tugas berat bagi guru yang mengedepankan kualitas. Kualitas intelektual dan kepribadian. Jadi jika gurunya saja tidak berkualitas, maka sangat sulit mencetak generasi yang berkualitas. Jika gurunya tidak bermoral, maka sangat mustahil bisa mencetak pelajar yang bermoral.

Kata pepatah, “guru kencing berdiri, murid kencing berjalan. Jika guru kencing berjalan, murid kencing berlari.”

Suka atau pun tidak suka, sadar maupun tidak sadar, kita sebagai guru pasti dianut oleh anak didik kita. Baik dan buruknya perilaku guru sangat berpengaruh berpengaruh terhadap perilaku murid. Karena apa yang terlihat akan mudah ditiru dari pada yang hanya sekedar teori.

Maka bagi kita yang sudah menjadi guru dan calon guru, mulai sekarang kita perbaiki lagi kualitas kita (moral dan intelektual). Agar apa yang ditiru oleh murid adalah sesuatu yang baik.



Oleh: Ahmad Hilmi





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About