Guru Bukan pendidik
Di sebuah sekolah, setingkat SMA, ada seorang guru mata pelajaran
Matematika yang pandai. Dia begitu menguasai materi yang disampaikan kepada
muridnya. Bahkan banyak murid yang akhirnya menguasai pelajaran matematika
dengan penjelasannya.
Disisi yang lain, ternyata para murid yang sudah dia
pandaikan tidak menghormatinya dan tidak segan terhadapnya. Bahkan para murid
terkesan acuh terhadapnya. Bila disimpulkan, guru ini tidak ada harganya di mata
para murid.
Kenapa bisa terjadi seperti ini?
Ternyata sikap tidak hormat yang ditampakkan para murid
terhadap guru ini sangat beralasan. Mengingat guru ini dikenal sebagai penjudi
dan pemabuk (peminum MIRAS) di lingkungan tempat tinggalnya.
Beberapa tahun silam, ketika saya masih kecil, sosok guru
selalu diidentikkan sebagai sosok yang
sangat disegani di dunia pendidikan. Disegani karena mereka memiliki peran
penting mendampingi para orang tua dalam mendidik anak.
Jadi tidak terlalu berlebihan jika orang Jawa memiliki
kepanjangan kata guru: digugu dan ditiru. Artinya: dipercaya (diikuti
ucapannya) dan ditiru. Mengingat guru
adalah pihak yang mengajarkan ilmu kepada murid serta mendidiknya dari sisi
moral.
Sebagai contoh kecil, seorang guru mata pelajaran Matematika,
di samping dia mengajarkan materi Matematika dia juga mengajarkan nilai-nilai
moral. Tindak tandukya layak menjadi panutan murid-muridnya, perilaku yang
tercermin dari dirinya dapat dijadikan contoh bagi anak didiknya.
Dalam lingkup dunia pendidikan nasional, kita mengenal sosok
Ki Hajar Dewantara dengan ungkapannya, “Ing ngarso sung tuladha, ing madyo
madyo mangun karyo, tut wuri handayani “ (Di depan memberi teladan, di
tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan).
Sungguh ungkapan yang begitu indah dalam menggambarkan sosok
guru. Guru yang mampu memenuhi kebutuhan anak didik. Mengajar, memberi teladan,
membimbing dan memberi dorongan dan
semangat.
Sosok guru seperti inilah yang akan selalu dikenang para
murid. Disegani murid bukan hanya
dilingkungan sekolah, tapi juga diluar sekolah. Guru yang akan selalu dihormati
siswanya sepanjang zaman. Jadi dia tidak akan pernah menyandang gelar mantan
guru.
Guru sebagai pengajar, bukan pendidik
Jika kita perhatikan tingkat akademi para guru saat ini,
rata-rata mereka menyandang gelar sarjana pendidikan. Bahkan tidak jarang
sebagian mereka ada yang menyandang gelar master pendidikan. Sungguh gelar
yang jarang dimiliki oleh guru-guru masa lalu.
Dari tingkat akademi mereka yang tinggi, kita bisa melihat
tingginya ilmu yang mereka miliki. Dari gelar sarjana yang mereka sandang, kita
bisa mengukur ilmu yang tinggi. Sungguh ini menjadi kemajuan yang sangat bagus
dalam dunia pendidikan.
Akan tetapi ada hal yang sangat disayangkan, tingginya gelar
sarjana yang disandang para guru tidak menjamin kualitasnya sebagai pendidik.
Bahkan tidak layak disebut sebagai guru, apalagi pendidik.
Jika kembali melihat prolog di atas, maka kita akan bisa
membedakan antara guru yang memiliki jiwa pendidik dengan guru yang sekedar
bisa mengajar. Guru tersebut pandai pada mata pelajarannya, tetapi dia nol dari
sisi moral. Padahal moral merupakan komponen vital untuk bisa dikatakan sebagai
pendidik.
Dan kenyataan yang terjadi di lapangan memang seperti ini.
Banyak guru yang tidak memiliki jiwa pendidik. Yang dia tahu hanya mentrasfer
pengetahuan. Bagaimana tidak, untuk dirinya sendiri saja dia tidak mampu
mendidik, apalagi mendidik murid.
Guru adalah sebuah pekerjaan
Ada seorang siswa SMA ketika lulus, dia bingung menentukan
pilihan untuk masuk fakultas/ jurusan. Setelah konsultasi ke beberapa pihak,
ternyata pilihan jatuh pada fakultas Pendidikan (Bahasa Daerah).Kenapa harus
Bahasa Daerah? Padahal jika dilihat latar belakangnya, dia tidak memiliki keahlian bahasa. Bahkan bisa dikatakan bahasa
daerahnya sangat kacau.
Ternyata alasannya mengambil jurusan Bahasa Daerah adalah
karena peluang untuk diterima sebagai guru sangat terbuka lebar. Mengingat
jarang sekali mahasiswa/i yang mau mengambil jurusan ini sedangkan permintaan pasar
sangat banyak. Artinya jika diterima sebagai guru dia memiliki pekerjaan.
Sekali lagi, alasan untuk menjadi guru bukan karena dia ingin
menjadi pendidik, tapi ingin mencari pekerjaan yang sedang diminati pasar.
Apapun fakultas yang dia ambil yang
penting bisa mengantarkannya kepada sebuah pekerjaan.
Jika ini yang menjadi alasan untuk menjadi guru, maka dengan
pandangan kasar pun kita akan bisa meramalkan kualitas pendidikan beberapa waktu
kedepan.
Menjadi Guru Yang Mendidik
Menjalani profesi sebagai guru gampang-gampang susah. Gampang
ketika kita tidak memperdulikan kualitas. Yang penting jadi guru dan memiliki pekerjaan. Tidak usah
tengok kanan kiri ketika bicara kualitas, karena akan terlihat belangnya. Karena memang dari awal sudah tidak
berkualitas.
Akan tetapi jika kita ingin berbicara masalah kualitas, maka
tentu akan terasa susah dan berat. Bagaimana tidak, guru dituntut untuk mentrsanfer
ilmu dengan baik, juga diminta untuk menjadi teladan bagi murid-muridnya.
Kita tentu
ingat dengan pesan yang selalu disampaikan Bapak
BJ. Habibie kepada pelajar. Pesan untuk mendalami IPTEK dan tidak melepaskan
IMTAQ. Berkualitas secara intelektual yang diimbangi dengan kualitas iman dan
moral.
Tentu ini adalah tugas berat bagi guru yang mengedepankan
kualitas. Kualitas intelektual dan kepribadian. Jadi jika gurunya saja tidak berkualitas, maka sangat sulit mencetak generasi yang berkualitas. Jika gurunya
tidak bermoral, maka sangat mustahil bisa mencetak pelajar yang bermoral.
Kata pepatah, “guru kencing berdiri, murid kencing
berjalan. Jika guru kencing berjalan, murid kencing berlari.”
Suka atau pun tidak suka, sadar maupun tidak sadar, kita
sebagai guru pasti dianut oleh anak didik kita. Baik dan buruknya perilaku guru
sangat berpengaruh berpengaruh terhadap perilaku murid. Karena apa yang
terlihat akan mudah ditiru dari pada yang hanya sekedar teori.
Maka bagi kita yang sudah menjadi guru dan calon guru, mulai
sekarang kita perbaiki lagi kualitas kita (moral dan intelektual). Agar apa
yang ditiru oleh murid adalah sesuatu yang baik.
Oleh: Ahmad Hilmi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar