Menyikapi maraknya kasus
pelecehan seksual terhadap wanita
Akhir-akhir ini pelbagai media sering mengangkat tema tentang
pelecehan seksual terhadap wanita, terutama ditempat umum.
Sebagai makhluk sosial, tentu ketika kita menyaksikan dan membaca peristiwa semacam ini bulu kuduk kita akan berdiri. Ya. Efek dari
perasaan merinding sambil sedikit membayangkan kalau itu terjadi pada keluarga
kita, atau orang-orang terdekat kita atau bahkan terjadi pada diri anda sebagai
wanita.
Kata musibah, petaka atau kata yang semisalnya adalah kata yang paling tepat kita gunakan
sebagai komentar pertama ketika mendengar berita semacam itu.
Salah siapa??
Ketika terjadi kasus semacam ini, saya yakin semua pandangan
akan tertuju kepada si pelaku. Tentu laki-laki/ pria pelakunya. Kalau biasanya menunjuk sesuatu dengan satu
jari telunjuk, kali ini semua jari
diajak rame-rame untuk menunjuk hidung si pelaku. Ya alih-alih sebagai reaksi
kekesalan semua pihak atas perbuatannya tersebut.
Saya sebagai orang yang yang sedang belajar menerapkan moral,
tentu akan turut “gregetan” juga
dengan perilaku semacam ini. Sama seperti kebanyakan orang. Akan tetapi antar
saya dan kebanyakan orang punya sedikit perbedaan ketika menghakimi si pelaku.
Kita sepakat kalau si pelaku pemerkosaan itu adalah pihak
yang “jelas dan nyata salahnya” dan tidak bisa dibenarkan. Tapi apakah si
pelaku itu saja satu-satunya pihak yang harus disalahkan?
Dalam kasus seperti ini pasti ada pelaku dan korban. Dan kalau
kita mau melihat dengan jeli, ternyata pelaku itu mepunyai tingkatan dan yang “katanya”
korban pun punya tingkatan.
Loh kok bisa??
Pertama: ada
memang laki-laki yang mempunyai kecenderungan terhadap perilaku seks yang
menyimpang. Setiap wanita yang melintas didepan matanya bisa dia “telanjangi”
dengan pandangan nafsu birahinya. Tatapanya terhadap wanita sangat liar. Orang semacam
ini tidak pandang bulu. Baik wanita yang dihadapannya itu berpakaian rapi atau pun tidak. Semua sama.
Ibarat seorang pengendara yang ugal-ugalan, dia bisa
mencelakai setiap orang yang didekatnya. Orang yang berjalan dengan hati-hati
dan dijalur yang benarpun bisa tertabrak olehnya. Apalagi mereka yang juga ikut
ugal-ugalan.
Laki-laki seperti inilah yang pantas kita jadikan sebagai
pelaku kejahatan tunggal.
Kedua: pria yang kedua ini sebenarnya punya sikap yang
hati-hati, terlebih kepada lawan jenisnya. Tapi kehati-hatiaanya ini belum
tentu bisa menjaminnya selamat dari berbuat menyimpang. Faktor pedorong yang
paling kuat adalah kesempatan.
Kembali kepada sikap pengendara. Kali ini si pengendara
sudah hati-hati . prosedur keselamatan
lalulintas sudah dia terapkan, tapi tiba-tiba ada penyeberang jalan yang “slonong
boy”, asal nyebrang tanpa tengok kanan kiri atau malah si penyeberang ini punya
aksi ugal-ugalan juga.
Lantas bagaimana penilaian kita kepada pengendara ini?? Tentu
kita tidak bisa menjadikan si pengendara sebagai tumpuan tunggal kesalahan atas
kecelakaan ini. Kalau kita mau cari kambing hitam, dua-duanya salah. yang
menabrak dan yang ditabrak.
Kemudian sekarang kita tengok si wanita yang sering kali “mengaku”
sebagai korban.
Ok, secara kasat mata memang si wanita adalah korban. Sssssssstttt,
tapi jangan terburu-buru melakukan pembelaan terhadap dia. Boleh jadi si wanita
itu sendirilah yang sengaja membuat kesempatan. Karena yang mengaku sebagai
korban pemerkosaan pun beragam.
Pertama: sama seperti laki-laki pertama yang punya
perilaku seks yang menyimpang, wanita pun ada. Kecenderungan untuk menggoda
laki-laki dalam beberapa kesempatan sering dia lakukan. Masuk dalam antrian
laki-kali dengan pakaian yang “aduhai” menjadi kebiasaannya. Bahkan ketika
ditegur dia akan menjawab dengan argumen yang kuat: “Loh inikan bukan area
khusus laki-laki, jadi wanita boleh dong nimbrung. yang ada juga area khusus
wanita.” Glegg
Bahkan terkadang si wanita ini inilah yang membuat kesempatan
terjadinya perilaku menyimpang. Bukan hanya laki-laki “berotak mesum” saja yang
terjebak dalam godaannya, bahkan laki-laki yang notebenenya “berhati-hati pun”
ikut tergiur.
Agaknya wanita seperti ini butuh pelajaran moral tambahan.
Kedua: wanita yang kedua ini selalu berhati-hati dalam
setiap gerak-geriknya: pakaian rapi, menjaga pergaulan serta pandangan.
Lantas apakah dia dijamin akan selamat jadi “korban”
laki-laki.?? Jawabannya belum tentu. Tapi peluang dia untuk selamat lebih
besar.
Nah, kalau ada wanita suci seperti ini yang menjadi korban,
maka dialah wanita yang WAJIB kita bela. Karena murni pihak laki-lakilah yang
salah dan pantas disalahkan.
Hubungan antara kasus pelecehan seksual dengan pakaian
mini
Saya masih ingat betul dengan berita yang mengangkat
pernyataan sekaligus anjuran mantan Gubernur Jakarta pak Fauzi Bowo ketika
melarang wanita memakai rok mini di area publik. Tempat umum. Sontak semua
pihak yang mengatasnamakan dirinya sebagai “pembela kaum wanita” merasa
kebakaran jenggot. Mereka merespon pernyataan pak Fauzi Bowo ini sebagai
sesuatu yang menyakikan bagi wanita.
Tidak ketinggalan juga
Komisioner Komnas Perempuan, Neng Dara Affiah, yang juga ikut “sakit hati” berdalih tidak ada
hubungannya kasus pemerkosaan dengan rok mini.
Saya mengira dan bahkan yakin betul kalau ada orang yang menolak pernyataan “ada hubungan erat rok mini dan kasus pemerkosaan”
mereka adalah orang yang sudah mati rasa. Mereka orang-orang sakit.
Kenapa saya katakan mati rasa??
Jelas, karena tubuh wanita juga bagian dari faktor yang bisa
menarik laki-laki. Tentu ini hanya boleh
dilakukan oleh pasangannya yang sah.
HAM (hak asasi manusia) dijadikan senjata andalan
Dalam banyak kasus, HAM selalu dijadikan modal pembelaan dan
pembenaran setiap perbuatan. Seakan setiap
tindakan dan ekspresi boleh dilakukan dengan “stempel” HAM. Kalau kita pinjam bahasanya
anak Alay hari ini ketika ditegur masalah pakaian mininya jawaban yang
akan keluar seperti ini: “baju, baju siapa? badan, badan siapa? MASALAH buat
lo?”
Pemuja HAM sama persis seperti anak Alay. Seakan
mereka adalah pihak yang paling faham tentang HAK. Padahal sejatinya mereka
buta tentang hak. Kok bisa?? Ya iya lah.
Bukankah hak setiap mata manusia bisa melihat sesuatu yang
baik dan sopan. Dengan adanya pengguna pakaian mini pemilik mata jadi hilang
haknya untuk melihat hal yang baik dan sopan.
Mengagungkan hak pribadinya dengan mengorbankan hak orang
lain.
Agama saya “ISLAM” ketika merespon masalah ini
Manusia diciptakan oleh Allah subhanahu wata’ala berpasang-pasangan.
Tentu salah satu tujuannya adalah agar ada ketertarikan satu sama lain. Ada rasa
saling membutuhkan.
Tapi apakah ketertarikan antara laki-laki dan perempuan
dibiarkan begitu saja tanpa sparator? Tentu tidak. Semua ada jalurnya, semua
aja caranya. Tidak seenaknya sendiri.
Dalam sebuah ayat Allah berfirman:
30. Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang mereka perbuat".
31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung. (QS.An Nur;30-31)
Ayat diatas merupakan solusi jitu bagi kita yang peduli atas
maraknya perilaku seksual yang menyimpang serta sebagai tameng/ perisai kokoh agar tidak lagi
terjadi ditengah-tengah kita. MENJAGA PANDANGAN DAN MENUTUP RAPAT AURAT BAGI
LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN.
Sebagai wanita jangan mudah tersinggung dan sakit hati
ketika ada solusi yang membangun moral. Kita antisipasi bersama perilaku
menyimpang ini; karena kasus ini merupakan tanggung jawab kita bersama jadi butuh
kerja sama yang solid sebagai upaya pencegahan.
Oleh: Ahmad Hilmi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar