Pages

Jumat, 27 November 2015

Selamat Hari [Ibuk Bapak] Guru


Mesra ya.. Itu beliau berdua Bapak dan ibukku. Foto itu kiriman dari adik yang diambil beberapa hari lalu di pinggir salah satu pantai di Kalianda, Lampung Selatan selepas menghadiri wisuda S1-nya si bontot.


Dari 5 putranya, sebagian ada yang lulus sampai jenjang SMA, ada juga yang lulus S1, ada juga yang sedang menempuh pendidikan S2 dan ada juga yang sedang menempuh Jenjang S3. Ala kulli hal, semua putranya mengenyam pendidikan formal. Hebat ya? bisa jadi. Tapi tentu saja lebih hebatan gurunya dari pada muridnya.
Yup, sebelum kita putra-putranya mengenyam pendidikan formal di luar sana, beliau berdualah yang berperan sebagai guru dan dosen untuk kita.
Beliaulah yang membentuk karakter awal dan dasar apa yang terbaik buat anak-anaknya, terutama masalah agama. Ya beliaulah yang mengajari kami belajar baca tulis AlQuran untuk tingkat dasar. Namun dari dasar dan fondasi yang kuat ini lah kami mampu mendirikan bangunan yang lebih tinggi di atasnya.

Karena beliau berdua mempunyai latar pendidikan pesantren dan agama, bapak dari Ma'ahid Kudus, sedangkan ibuk dari pesantrennya mbah Kiayi Thohir Kajen, Pati, maka anak-anaknya pun diarahkan ke pesantren semua. Semuanya.

Alasan sederhana dari beliau menyekolahkan anak-anaknya di pesantren adalah, bahwa belajar agama itu gak akan rugi dan tertipu. Pasti ada fungsinya. Minimal untuk diri sendiri dan keluarga. Syukur-syukur manfaat ilmunya bisa dibagi untuk masyarakat sekitar. Dan itu terbukti.

Dan ketika kita dimasukkan ke pesantren, bapak dan ibuk tak pernah terbersit dalam pikirannya, kelak anak-anaknya punya pekerjaan dan profesi apa. Yang penting anak anaknya bisa ngaji Quran. itu aja. Terdengar kolot sih. Tapi manjur dan mencerahkan.

Kadang yang demikian itu saya angan-angan, benar juga alasan bapak, bahwa belajar agama tak akan ada ruginya. Coba kita tengok anak anak lulusan sekolah kejuruan (SMK), berapa banyak mereka yang tersesat jurusan dan profesi. Ketika sekolah ambil jurusan Akuntansi, giliran masuk dunia kerja malah jadi tukang tambal ban. Ketika sekolah ambil jurusan Mesin, waktunya kerja justru kerja jadi kuli bangunan atau paling keren jadi buruh pabrik. Ini bukan tentang profesi saat ini. Tapi ini tentang ketiadaan jaminan pekerjaan atau profesi dengan latar pendidikan formal yang dilalui.

Kalau belajar agama, setidaknya bisa kita pakai sendiri untuk menuntun kerasnya hidup. Itu saja. Atau bahasa lainnya, kalau kita punya barang dagangan, kalau gak terjual, minimal bisa dimakan sendiri dan keluarga.

Biidznillah. Selepas dari pesantren, tak ada dari kita yang jadi tuna wisma. Semua bekerja dan berkarya.

[Manfaat Ilmu agama untuk masyarakat sekitar]
Bahkan bukan hanya kita anak-anaknya saja yang merasakan manfaat ilmu yang dimiliki bapak dan ibuk. Masyarakat sekitar pun merasajannya. Buktinya, rumah bapak dan ibuk, dari dulu hingga sekarang, sekitar 30 an tahun lamanya, selalu menjadi tempat ngaji. Belajajar baca AlQuran. Dari generasi yang nyapa ibuk dan bapak dengan sapaan Budhe/pakdhe, sanpai genersi yang manggil Mbah In (mbah insiyah) dan Mbah Pi (Mbah Hanafi). Lama bukan. Bahkan sampai saat ini masih generasi mengaji Quran belum terputus dari Rumah Ibuk dan Bapak. Semoga Beliau dalam kasih sayang Allah dan berlimpah berkah dari-Nya. Semoga Allah menjaga keikhlasannya mengajar AlQuran untuk segelintir anak yang masih peduli dengan Agama.

[Rumah kita adalah Madrasah]
Memang, di depan rumah kita tak ada papan petunjuk yang menerangkan kalau itu madrasah. Karena intinya bukan pada nama, tapi pada nilai manfaatnya. Tak perlu juga orang menyebut itu madrasah jika hanya menimbulkan masalah dan aengketa. Saya ingat dengan sebuah madrasah di kampung kami, dulu kala, itu madrasah yang sangat banyak muridnya. Berwibawa. Berdiri di tanah wakaf di komplek masjid. Didalamnya diajakrkan ilmu agama untuk anak-anak di kampung. Makmur.

Tapi, malapetaka datang menimpa madrasah itu di awal tahun 2000an. Yap, ketika madrasah itu digusur. Bukan digusur bangunannya, tapi fungsi dan kepemilikannya. Wibawanya hancur. Santri yang dulu melimpah dan bersemangat, kini hilang tak berbekas. Ada sih sisanya, tapi mereka terlantar di emperan masjid dengan kondisi yang aduhai melasnya. Meraka bak anak-anak yang terusir dari rumah orang tua kandungnya. Inginnya keberadaan mereka diakui namun tak diurus.

Dalam kondisi madrasah yang mengenaskan itu Rumah kita masih tetap exis sebagai madrasah tanpa pengakuan dan nama, dan bapak ibuk tetap setia menjadi guru ngaji tanpa tanda jasa.
Guru-ku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About