Pages

Senin, 02 Juni 2014

Masjid [katanya] Mau Dimata-matai, Siapa Bertanggung Jawab?


Beberapa hari ini, santer tersebar berita tentang rencana salah satu parpol untuk “memata-matai” khutbah jumat di masjid-masjid. Sontak, berita ini membuat geram ummat Muslim sebagai objek mata-mata.


Mengenai kebenaran berita, saya pribadi ikut terbawa arus derasnya berita tersebut. Kekhawatiran akan kembalinya kegelapan orba turut menghantui. Setiap kata yang akan dikhotbahkan wajib dibuatkan teks tertulis dan disensor oleh pemerintah setempat, perangkat desa dan kecamatan.



Jika keadaan seperti itu ada pada saat ini, tentu kita sebagai ummat Islam sangat dirugikan.
Kenapa hal itu bisa terjadi?


Sebagaimana kasus [yang katanya] terorisme, ngebom dan semisalnya, sering dikaitkan dengan Islam. Kalau boleh jujur, memang ada sebagian ummat Islam yang melakukan itu. Tapi itu oknum. Dan mau tidak mau, kita sebagai ummat Islam yang tidak melakukan tindakan [terorisme] itu harus bisa menyangkal bahwa Islam bukan agama teroris. Kita tunjukkan bahwa Islam adalah “rohmatan lil alamin”.


Dan sekarang, dengan adanya rencana “memata-matai” masjid, kita juga mesti jujur, bahwa memang ada oknum penceramah yang memasukkan materi kampanye dalam ceramahnya. Dan tidak jarang, kampanye yang disuarakan di mimbar masjid berisi fitnahan terhadap kelompok lawan.


Aksi balasan dari kubu lawan akhirnya tidak terelakkan, saling serang dan fitnah. Karena salah satu sumber fitnah berasal dari masjid yang disuarakan oleh “OKNUM” penceramah, maka mau gak mau masjid yang jadi sasarannya. karena masjid yang terlihat dan oknum penceramahnya lari untuk sembunyi.

Kalau sekarang masjid sudah jadi korban, siapa yang mau tanggung jawab?



Selayaknya, masjid bersih dari kampanye politik praktis

Islam agama Syumul, universal, mencakup dan mengatur semua urusan manusia, termasuk politik. Islam bukan agama anti politik. Dan masjid, di awal kejayaan Islam, adalah tempat mengatus segalanya. Termasuk di dalamnya strategi politik, bakhan perang.


Tapi itu dulu. ketika hanya ada dua kubu yang jelas berseberangan, ISLAM & KAFIR. Jadi sangat layak masjid digunakan untuk bicara politik dan perang. Musuhnya jelas, sasarannya pas.

Dan sekarang?

Bukan tidak boleh, saat ini, bicara masalah pilitik di masjid. Tapi politik seperti apa? apakah kita yakin bahwa lawan politik kita yang beda parpol kita dihuni oleh 100% kafir? atau jangan-jangan penilaian kafir itu hasil dari asumsi dan isu? atau karena lawan politik kita berteman dengan orang kafir? Hanya itu modal kita untuk mengkafirkan lawan politik kita?


Cobalah kita koreksi lagi diri kita, jangan-jangan Islam terdzolimi gara-gara ulah kita sendiri sebagai ummatnya. Jujurlah, bahwa suramnya Islam adalah hasil kejahatan kita sendiri.


Sekali lagi, biarkan masjid berada pada fitrahnya. Jangan kotori dengan kebusukan kampanye politik saat ini.
Ada orang diam tak berkomentar tentang politik dituduh dungu. Bersebrangan dalam pandangan politik dianggap “mendukung kekafiran”. Opini busuk apa itu?


Lihat lah, ketika kita membanggakan kubu kita yang lebih Islami dan lebih bersih karena didukung para ulama. Tapi jangan lupa, kubu lawan kita yang kita tuduh dengan berbagai isu keji, pun didukung para kiayi dan ulama.


Kita gak sadar, kita dan para ulama kita sedang diadu-domba yang terbelah dalam kubu yang bersebrangan. Sementara setiap kubu berlindung dibalih mimbar masjid. Ini yang kita sebut “PERANG BADAR POLITIK” ? perang badar antar ulama dan ulama? antar kiayi dan kiayi?


Sudahlah, lelah rasanya mendengar dan menyaksikan pertengkaran ini, yang lakonnya adalah ummat Islam sendiri dan dalangnya tak tahu siapa dan bersembunyi di mana?


Oleh: Ahmad Hilmi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About