Selalu saja ada 3 golongan
manusia dalam penilaian kerkait apa yang dilihat dan didengar. Ada yang masuk
dalam golongan Ekstrem kanan, ada juga Ekstrem kiri dan ada juga yang
pertengahan (Moderat). Akhir-akhir ini, ada beberapa kiyai, ustadz dan juru
dakwah yang namanya sedang ngetren di kalangan jagad sosial media. Yang mudah
kita ingat, ada Prof. Quraisy Syhab, ada Prof. Said Agil Siroj, ada Gus Nuril,
ada Cak Nun dan lain sebagaian dari kalangan pendakwah.
Nama-nama beliau masuk dalam
trending topik di sosmed dalam dua versi esktrem, kanan dan kiri. Namun, saya
pribadi sulit memilihkan dua ekstrem itu pada tempat yang seharusnya. Sebagai
contoh, seorang Said Agil Siroj, beliau seorang yang bergelar Prof. Doktor,
dalam bidang agama. Tentu saja, bagi saya yang orang awam, akan melihat beliau
adalah orang besar dan intelektual.
Mana mungkin seorang bergelar Prof. Doktor,
apalagi alumni timur tengah adalah orang yang tidak pandai. Dari sisi ini saya
harus mengakui beliau sebagai sosok yang samagt dalam pengetahuannya. Namun
dari sisi yang lain, beberapa kali beliau mengeluarkan statemen yang sangat
kontroversi. Masalah jenggot umpamannya. Atau ada juga statemen beliau tentang
penghafal Quran adalah calon teroris. Jelas ini sangat menciderai umat Islam
secara umum.
Walaupun di awal saya kagum
dengan keilmuan beliau, dan tentu saja andil beliau dalam mencerdaskan ummat,
namun dari sisi statemen yang kontroversi tersebut, pun tidak pantas bagi saya menutup
mata. Kalau memang beliau salah, ya katakan salah. Sebagai pengagum keilmuan dan
keintelektualan beliau saya juga harus bisa mengatan beliau salah ketika
berbuat salah. Kadang orang berpura-pura buta ketika melihat idolannya
melakukan kesalahan.
Namun demikian, tak pantas juga
bagi saya mencaci maki beliau dan "gebyah uyah" atau pukul rata,
bahwa setiap yang diucapkan oleh Said Agil adalah sesat dan salah. Dalam
kondisi ini, kita mesti belajar berdiri di tengah. Katakan salah jika salah,
dan jangan disesat-sesatin ketika memang tidak melakukan kesalahan. Sulit
memang.
Adalagi, Profesor Quraisy Syihab.
Beliau seorang profesor bidang tafsir. Tidak mudah seorang meraih gelar
profesor kalau dia bukan orang yang pandai dalam bidangnya. Begitu pun dengan
Quraisy Syihab. Dari sisi ini saya harus mengakui bahwa beliau seorang yang
alim dan ahli tafsir Al Quran. Jika dibandingkan dengan saya, tentu
perbedaannya "baina sama' wa sumur" antara langit dan sumur. Bukan
lagi dibandingkan dengan bumi yang terlihat permukaannnya, tapi ini sumur yang
kedalamannya kadang tak dapat dijangkau mata. Jauh.
Namun di sisi lain dari kehidupan
beliau, tentu saja ada sisi kekurangannya, ini pun menurut sebagian kalangan,
dalam ceramah-ceramah beliau yang membela syiah. Dari sisi pembelaan beliau
terhadap syiah, mungkin saya pribadi tidak sependapat dengan beliau. Atau dalam
pendapat beliau tentang hukum jilbab bagi wanita, beliau mengatakan tidak
wajib. Sisi ini saja tidak setuju dan sependapat dengan beliau. Namun bukan
berarti saya dengan mudah menuduh beliau sebagi syiah sesat yang halal darah
dan kehormatannya untuk dihabisi. Bukan. Bukan sepeti ini.
Yang saya maksud dalam tulisan
ini, sudah selayaknya kita berada di garis tengah. Bukankah pertengahan itu
baik dalam segala urusan.?
Dalam banyak hal seputar
toleransi beragama, kita pun dituntut untuk berada di garis tengah. Orang non
muslim atau biasa disebut sebagai kafir pun, kita sebagai muslim dituntut untuk
toleransi. Kan ayatnya jelas "lakum diinukum wa liya diiinun" / agamamu
agamamu agamaku agamaku. Kita berjalan pada agama masing-masing tanpa harus
saling menciderai. Itu toleransi yang saya fahami dan yang saya anut. Namun
toleransi ada batasnya. Gak semua yang disebut tolesansi itu dibenarkan. Coba
bayangkan, ada seorang pendeta kriten mati dan diadakan acara kematian menurut
kepercayaan mereka di sebuah gereja. Ketika kita membiarkan mereka pada
ajarannya, ini yang namanya toleransi. Namun kalau ada orang yang disebut
Kiyai, ustadz, pemuka agama Islam yang datang diacara kematian tersebut kemdian
mengikuti ritual mereka, ya Jelas ini toleransi yang "keblinger". Kebablasan.
Menurut saya, justru ini masuk katagori penistaan agama. Ya, si Kiayi tersebut
melakukan penistaan agama krtisten pada saat itu. kok bisa? ya iya, karena dia
menambah-nambah ritual kematian orang non muslim dengan tari sufi yang dia
bawakan. Harusnya pendeta kristen memperingatkannya karena si kiayi salah.
Waallu a'lam bi as showab. Semoga
kita dijadikan oleh Allah sebagai “ummatan Wasathon” yang benar-benar di
tengah. Dengan memfungsikan dua telinga dan dua mata, maka bisa menjangkau
segala sisi objek yang sedang kita lihat dan kita dengar. Seringkali
ketidakadilan kita dalam menilai suatu objek karena sebab tidak tuntasnya
pandangan kita dalam menelusuri segala penjurunya.
Ahmad Hilmi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar